Memasuki Agustus ini figur Anies Baswedan sebagai bakal Calon Gubernur masih menjadi sentral perbincangan dalam konstelasi Pilgub DKI Jakarta. Namun demikian kepastian perihal siapa bakal pendampingnya masih berlangsung dinamis.Â
Empat partai politik yang dikabarkan sudah mendekati sepakat untuk mengusung Anies, yakni PKS, PKB, Nasdem dan PDIP nampaknya masih saling bernegosiasi untuk posisi bakal cawagub ini.
Sementara itu berdasarkan PKPU Nomor 2 Tahun 2024 tentang Tahapan dan Jadwal Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Tahun 2024, masa pendaftaran akan dibuka tanggl 27-29 Agustus, tinggal beberapa pekan lagi.
Sebagai miniatur Indonesia, Jakarta memang membutuhkan pertimbangan lebih (selain target memenangi kontestasi) dibandingkan provinsi lain dalam memutuskan pasangan cagub-cawagub. Misalnya pertimbangan politik kebhinekaan dan kebangsaan. Nah berdasarkan pertimbangan pada sisi ini, hemat saya figur yang paling tepat mendampingi Anies adalah kader PDIP. Berikut ini beberapa argumentasinya.
Membersihkan Residu 2017
Tanpa bermaksud membuka luka lama, kita tahu Pilkada 2017 berlangsung amat keras bahkan cenderung kasar karena dipicu oleh politisasi identitas (agama dan etnik). Dua kubu yang saling berhadapan, terutama di putaran kedua Pilgub, yakni Anies-Sandi versus Ahok-Djarot dan masing-masing pendukungnya sama-sama terjebak dalam saling lempar tuduhan-tuduhan stigmatis yang buruk. Anies-Sandi saat itu didukung oleh Gerindra dan PKS, sementara Ahok-Djarot didukung oleh koalisi PDIP, Hanura, Golkar, dan Nasdem.
Satu hal yang lebih memprihatinkan lagi adalah bahwa polarisasi di Pilkada Jakarta itu kemudian mengalir dampak residualnya ke Pemilu 2019. Stigma buruk "Cebong-Kampret" yang marak di Pemilu 2019 sedikit-banyak dipengaruhi oleh dan lahir dari keterbelahan pada Pilkada DKI 2017. Cebong disematkan kepada para pendukung Jokowi-Ma'ruf, dan Kampret untuk para pendukung Prabowo-Sandi.
Meski tidak kentara, karena terjadi pergeseran konstelasi dan afiliasi politik elektoral serta munculnya isu pelanggaran etik di Pemilu 2024 kemarin, residu itu sesungguhnya masih ada. Ia menjadi semacam "bahaya laten" yang setiap saat bisa muncul kembali ke permukaan arena kontestasi politik.
Dengan menyandingkan kader PDIP bersama Anies pada Pilgub Jakarta 2024 ini, hemat saya bisa mencegah bangkitnya kembali sentimen primordialis dan politisasi identitas berbasis agama dan etnik yang bisa membelah kembali masyarakat, khususnya warga Jakarta. Karena itu dalam konteks ini pantas diapresiasi jika PDIP misalnya tidak tergoda untuk memajukan kembali Ahok di Jakarta, dan lebih memilih berkongsi dengan PKS, PKB dan Nasdem untuk mendukung Anies Baswedan.
Menghadirkan Politik KebhinekaanÂ
Selain untuk membersihkan residu Pilkada 2017 dan mencegah kembali kebangkitannya pada Pilgub Jakarta 2024, memberikan porsi Cawagub Anies kepada kader PDIP juga penting dalam kerangka membangun dan menghadirkan politik kebhinekaan yang inklusif di Jakarta.