Dalam mimpi, manusia praktis bersifat pasif. Pengalaman inderawinya beroperasi secara otomatis, sekali lagi, diluar kontrol kesadarannya. Itulah sebabnya, wujud rangkaian peristiwa atau struktur kejadian dalam mimpi seringkali, jika tidak selalu, bersifat irasional dan random. Dalam ungkapan keseharian, mimpi lazim disebut sebagai "bunga tidur", bersifat aksesoris meski tak selalu indah.
Akan tetapi, dalam pandangan Ibnu Arabi, mimpi adalah bagian dari imajinasi. Ruang dimana penampakan wujud-wujud spiritual seperti para malaikat dan roh, memperoleh bentuk dan figur-figur rupa pengejewantahannya. Karena disana konsep-konsep murni (ma`ani) dan data inderawi (mahsusat) bertemu dan memekar menjadi figur-figur personal yang dipersiapkan untuk menghadapi drama event rohani.
Kecakapan imajinasi itu selalu aktif baik sedang dalam keadaan bangun maupun dalam keadaan tidur. Selama terjaga kecakapan ini bahkan kerap disimpangkan oleh kesan-kesan inderawi (sense impression) untuk melakukan pekerjaannya secara wajar. Tapi dalam keadan tidur, ketika indera-indera dan kecakapan lainya sedang istirahat, imajinasi justru terbangun semuanya.
Â
Sementara itu, dalam sejarah risalah kenabian, mimpi adalah pesan-pesan Ilahiyah yang ditujukan untuk mengubah peradaban. Pesan ini dikirim kepada pribadi-pribadi yang siap untuk menerima pesan itu dan menafsirkannya secara benar.
Kita tahu, sosok para nabi sepanjang masa adalah pribadi-pribadi yang siap untuk menerima dan berjuang membela keyakinan dengan teguh dan gigih. Kalau mereka sudah percaya dan yakin bahwa pesan itu datang dari Allah, maka mereka tidak ragu lagi untuk melangkah dan menjalankannya. Seperti dijelaskan dalam sebuah hadits Rasulullah SAW, "ru`ya shadiqah (mimpi baik) itu merupakan satu bagian dari empat puluh enam bagian risalah kenabian".
Â
Mimpi Nabi Ibrahim Alaihissalam tentang perintah untuk mengorbankan putranya, Ismail, adalah contoh fenomenal perihal mimpi sebagai pesan Ilahiyah yang mengandung kebenaran sejati. Demikian pula tafsir Nabi Yusuf Alaihissalam atas mimpi Raja Qithfir yang telah menyelamatkan bangsa Mesir dan Bani Israil dari bencana kelaparan dan kematian. Pun mimpi Nabi Muhammad SAW menandai diawalinya penurunan wahyu Al Quran.
Bertolak dari perspektif itulah, kemudian para ulama pada umumnya mengklasifikasi mimpi kedalam tiga jenis. Yaitu : mimpi yang berasal dari Allah (ru'ya shodiqoh), mimpi yang berasal dari syetan, dan mimpi yang berasal dari kondisi psikologis manusia sendiri.
Dalam sudut pemaknaan yang sama sekali berbeda namun tetap memiliki "titik sambung" substantif, para bijak dan arif, lazimnya memaknai mimpi sebagai cita-cita visioner; gambaran ideal suatu keadaan masa depan. Dalam konteks ini, mimpi memiliki semacam fungsi sebagai "media kreatif", alat penciptaan. Media atau alat yang mampu menciptakan keadaan masa depan tertentu. Maka seperti diungkapkan dalam kalimat bijak Al Bana diatas, "kenyataan hari ini adalah mimpi hari kemarin, dan kenyataan hari esok adalah mimpi hari ini".
Â