Sama sekali tidak mengejutkan tetapi menarik. Itulah hasil survei Litbang Kompas terakhir seputar Pilkada Jakarta yang menempatkan Anies dan Ahok pada posisi pertama dan kedua di papan elektabilitas (Kompas.com, 16 Juli 2024).Â
Anies di angka 29.8% dan Ahok di angka 20%. Jauh di atas nama-nama populer yang sudah beredar, termasuk Kang Emil (8.5%) dan Kaesang (1%) yang terus diperbincangkan setiap hari.
Tidak mengejutkan karena kedua sosok ini, selain pernah memimpin Jakarta, hingga saat ini nampaknya memang masih "menguasai" suara-suara publik warga Jakarta. Kelebihan sekaligus kontroversi keduanya di kubu masing-masing pendukungnya terus hidup. Setidaknya masih tersimpan dalam memori kolektif basis massa dan simpatisan masing-masing, yang setiap waktu bisa dengan mudah mengalami eksplosi kembali.
Menarik karena hasil survei ini bisa membuat konstelasi politik elektoral menjelang kandidasi Pilkada Jakarta semakin dinamis, dan mungkin juga memanas. Khusus bagi PDIP, hasil sigi ini bisa membangkitkan gairah politik elektoralnya untuk kembali mengusung Ahok dan siap menghadapi Anies, entah dengan siapapun mereka saling berpasangan. Isyarat "ketergodaan" ini mulai diperlihatkan oleh Said Abdullah, Ketua DPP PDIP, yang menilai Ahok potensial bisa mengalahkan Anies seperti dikutip berbagai media.
Padahal sebelumnya dikabarkan bahwa PDIP tertarik untuk mengusung Anies, bahkan sudah melakukan komunikasi penjajagan dengan PKB yang telah lebih dulu menyatakan dukungannya kepada Anies melalui DPD PKB Jakarta. Di sisi lain Anies juga telah dideklarasikan oleh PKS bakal dipasangkan dengan Sohibul Iman.
Berdasarkan perkembangan sebaran informasi tersebut situasi yang mungkin sekarang sedang berlangsung adalah komunikasi tiga partai (PDIP, PKB, PKS) membahas opsi-opsi bakal pendamping Anies. Seru pastinya karena masing-masing partai tentu berkepentingan untuk memajukan kader-kader terbaiknya mendampingi Anies.
Lantas, bagaimana jika PDIP akhirnya memutuskan untuk memajukan Ahok? Seberapa besar peluangnya bisa mendaftar ke KPU DKI? Dan bagaimana pula potensi memenangi kontestasi jika (misalnya) PDIP berhasil membangun kerja sama atau koalisi, entah dengan partai mana, dan mendaftarkan Ahok dengan pasangannya sebagai cagub-cawagub Jakarta?
Peluang Ahok dan PDIP
Berdasarkan hasil Pileg 2024 lalu, PDIP hanya meraih 15 kursi di DPRD DKI Jakarta, selisih 3 kursi di banding PKS yang menjadi pemenang dengan 18 kursi. Dengan modal kursi sebanyak 15 ini PDIP dengan sendirinya terganjal untuk bisa mengusung pasangan Cagub-Cawagub sendirian.Â
PDIP harus membangun kerja sama alias koalisi, sama saja dengan PKS meski raihan suaranya diatas PDIP. Karena syarat jumlah kursi di DPRD DKI untuk bisa mengajukan Paslon adalah 22 kursi.
Lalu dengan partai mana PDIP bisa berkoalisi? Jika rujukannya adalah peta koalisi pada Pilpres 2024 silam, maka partai yang paling mungkin diajak kerja sama adalah PPP dan Perindo. Hanura tidak masuk hitungan karena gagal di DKI.
Tetapi penggabungan jumlah kursi PDIP dengan PPP dan Perindo masih jauh dari memenuhi syarat. PPP dan Perindo hanya meraih 1 kursi di DPRD DKI. Jadi kumulasinya hanya 17 kursi, kurang 6 kursi untuk bisa mengajukan pasangan cagub-cawagub. Dengan demikian, Ahok tidak mungkin bisa dimajukan oleh PDIP sebagai bakal Cagub, perahunya tidak memadai.
Opsi kedua yang juga mungkin adalah berkoalisi dengan PSI, peraih 8 kursi di DPRD DKI, cukup untuk bisa memajukan pasangan calon. Tentu saja dengan satu catatan, PSI "berkenan" keluar dari barisan Koalisi Indonesia Maju (KIM) di Pilkada Jakarta. Penggabungan kursi PDIP dan PSI 23 kursi, cukup untuk bisa melaju di Jakarta. Ahok bisa maju, tentu dipasangkan dengan Kaesang, Ketua Umum PSI.
Tetapi PDIP kemungkinan besar tidak akan mengambil opsi ini. Figur Paslon Ahok-Kaesang terlalu resisten secara sosio-politik bagi warga Jakarta yang mayoritas masih lebih menyukai Anies dan kemungkinan besar akan kembali terpicu oleh sentimen agama seperti pada Pilkada 2017 silam. Jadi, di opsi ini Ahok nampaknya juga bakal mentok.
Opsi terakhir dan paling realistis adalah bekerja sama dengan PKB dan PKS, bisa juga ditambah Nasdem jika partai Surya Paloh ini tidak merapat ke kubu KIM. Tetapi jika ini yang menjadi pilihan PDIP, maka dengan sendirinya Ahok tersisih, karena berdasarkan regulasi pencalonan yang masih berlaku kedua mantan Gubernur DKI ini tidak mungkin saling dipasangkan satu sama lain.
Dan PDIP kemungkinan besar akan memilih Jendral (Purn) Andika untuk disandingkan dengan Anies. Tentu saja dengan satu catatan. PKS legowo menarik figur Sohibul Iman dari posisi bakal Cawagub Anies yang sudah dideklarasikan, dan PKB ikhlas tidak mengajukan kadernya untuk mendapingi Anies.
Menghindari Blunder
Bertolak dari kalkulasi tersebut, hemat saya PDIP sebaiknya memang tidak tergoda untuk memajukan kembali Ahok (dipasangkan dengan siapapun) di Pilkada Jakarta. Setidaknya ada 3 argumen penting untuk dipertimbangkan PDIP terkait soal ini. Intinya ketiga alasan ini adalah menghindari blunder yang potensial terjadi jika PDIP mencalonkan Ahok.
Blunder pertama terkait dengan posisi PDIP sendiri dalam konstelasi kepolitikan nasional. Pasca Pilpres 2024 silam hingga saat ini, saya melihat hanya PDIP yang masih cukup konsisten mengambil posisi dan memainkan peran oposisional terhadap pemerintahan untuk menjaga dan memastikan demokrasi kita tetap sehat karena ada kontrol.
Dengan "memaksakan" Ahok ke arena kandidasi Pilkada Jakarta, PDIP potensial akan semakin tidak punya kawan politik. Bisa jadi bahkan akan menyendiri di tengah gemuruh Pilkada karena gagal membangun koalisi lawan tanding (bersama PKS, PKB, Nasdem) bagi koalisi turunan Pilpres di satu sisi tetapi juga tidak merapat ke barisan KIM di sisi yang lain. Sementara jumlah kursi yang dimiliki tidak cukup untuk mengajukan paslon sendiri meski kerja sama dengan dua partai bekas kongsinya di Pilpres 2024, yakni PPP dan Perindo.
Blunder kedua yang potensial bisa terjadi jika mengajukan kembali Ahok di Pilkada Jakarta adalah membangkitkan kembali polarisasi sosial seperti yang pernah terjadi di Pilkada 2017 silam. Terutama jika lawannya adalah Anies-Sohibul Iman (PKS) atau Anies-Ida Fauziyah (PKB). Padahal kemenangan belum tentu bisa diraih mengingat posisi elektabilitas Anies masih yang tertinggi.
Seandainya pun kemenangan bisa diraih, polarisasi tajam yang dipicu oleh langkah PDIP dengan memajukan Ahok potensial bisa menciptakan perluasan cakupan lawan-lawan politik bagi PDIP dalam konstelasi kepolitikan nasional.Â
PDIP akan semakin sendirian. Padahal kepada PDIP lah sebagian masyarakat masih berharap bisa tampil elegan menjadi pengontrol yang kritis bagi pemerintahan saat ini dan kedepan.
Blunder yang ketiga, dampak polarisasi sebagaimana dimungkinkan terjadi tadi dengan sendirinya bakal merusak soliditas elemen-elemen pro demokrasi yang siap memainkan peran-peran oposisional (baik di lingkungan partai politik maupun masyarakat sipil di luar partai politik) bagi pemerintahan baru ke depan.
Dalam situasi elemen-elemen pro demokrasi dan kepemimpinan politik negara yang berintegritas kedepan terpecah tentu tidak menguntungkan bagi rakyat dan bangsa ini yang nampaknya bakal menghadapi banyak tantangan dan ujian berat dalam mengarungi lautan sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara kedepan.
Dalam konteks ini warga Jakarta yang mendambakan suasana damai-harmoni serta elemen-elemen masyarakat sipil yang mengharapkan tradisi berdemokrasi yang sehat dengan menghidupkan mekanisme kontrol politik yang kuat dan partisipasi publik yang bermakna dalam pemerintahan kedepan jelas membutuhkan sikap bijak PDIP. Dan ini bisa dimulai dari Jakarta.
Artikel terkait :Â Buku Melawan Lupa, Merekam Kejadian, dan Merawat Ingatan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H