Kedua, jalan untuk posisi bakal Cagub bisa saja dibuka oleh PDIP untuk Arief dengan "membajaknya" dari Demokrat, lalu dipasangkan dengan Ade Sumardi sebagai bakal Cawagubnya. Masalahnya kemudian dengan siapa PDIP berkoalisi, karena Golkar dan Demokrat nyaris tidak mungkin mau diajak kerjasama jika paslonnya Arief-Ade.
 Satu-satunya jalan bagi Arief adalah berharap kesepakatan tujuh partai terkoreksi oleh dinamika prakandidasi. Misalnya Nasdem dan PKB keluar. Gabungan kursi di DPRD Banten dari dua partai ini cukup untuk mengusung satu paket pasangan calon. Arief misalnya "diambil" Nasdem untuk dimajukan sebagai bakal Cagub dan Ahmad Syauqi (putra Wapres Kyai Ma'ruf) yang juga kader PKB sebagai bakal Cawagub.
Jika opsi Arief-Syauqi ini gagal dimajukan, dan nampaknya memang sangat berat, maka pesta demokrasi elektoral di Banten kemungkinan besar hanya akan mampu menyajikan dua racikan menu : Andra-Dimyati versus Airin-Ade.
Sangat minimalis memang. Tetapi masih jauh lebih baik ketimbang misalnya sisa anggota KIM di Pilpres 2024, yakni Golkar dan Demokrat juga menyusul gabung ke koalisi gigantis KBI di Pilgub Banten 202 dengan menghempaskan Airin dan meninggalkan PDIP sendirian.
Menyedihkan tentu saja jika hal itu yang terjadi. Bukan karena Airin dihempaskan atau PDIP ditinggalkan sendirian. Melainkan karena dengan demikian warga Banten hanya diberikan satu sajian menu alias calon tunggal oleh partai-partai yang tersandera politik kartel dan pragmatika akut.
Artikel terkait:Â https://www.kompasiana.com/www.tisna_1965.com/6684e6f7ed64155c277a1c62/politik-kartel-dalam-proses-kandidasi-pilgub-banten
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H