Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama I Nominee Kompasiana Award 2024 - Best in Opinion

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Kandidasi Pilgub Banten (1): Anomali Politik dan Politik Kartel

3 Juli 2024   13:00 Diperbarui: 5 Juli 2024   14:34 617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertama, ketiga partai ini terutama PKS memiliki peluang yang memadai untuk membangun kerjasama alternatif sebagai bakal lawan tanding Andra Soni. Kedua, ketiga partai ini juga terutama PKS dan Nasdem memiliki figur yang dapat diandalkan untuk dipromosikan. Yakni Dimyati (PKS) dan Arief (Nasdem), yang popularitasnya boleh jadi lebih baik dibandingkan Andra Soni. Ketiga, ketiga partai ini merupakan anggota Koalisi Perubahan dan Persatuan (KPP) di Pilpres 2024, artinya mereka pernah membangun kerjasama yang cukup solid di barisan pengusung perubahan.

Penggabungan jumlah kursi dari ketiga partai ini (33 kursi) lebih dari cukup untuk mengusung sendiri pasangan bakal Cagub-Cawagub. Sebut saja misalnya yang paling rasional, marketable dan memiliki potensi paling unggul adalah paket figur Dimyati (Cagub) dan Arief (Cawagub) atau Syauqi (Cawagub).

Di sisi lain, tanpa ketiga partai yang mempromosikan diri dengan gagah sebagai kanal perubahan pada Pilpres 2024 lalu itu, Gerindra tetap akan mudah mengusung Andra sebagai bakal Cagub. Alasannya sederhana. Tiga partai lain dari tujuh partai yang sepakat mengusung Andra-Dimyati (PAN, PPP dan PSI) merupakan partai-partai yang nyaris mustahil berani berhadapan dengan paslon yang didukung pemerintahan Prabowo. Penggabungan jumlah kursi ketiga partai papan bawah ini adalah 28, lebih dari cukup untuk memajukan Andra disandingkan dengan siapapun.

Ringkasnya, kesepakatan tujuh pertai pengusung Andra-Dimyati ini hemat saya adalah bentuk anomali politik kandidasi, sekali lagi, jika dilihat dari perspektif normalitas hakikat eksistensial partai politik dan kewajaran posisional elektoral hasil Pemilu 2024 di Banten.  

Tersandera Politik Kartel 

Tetapi anomali politik kandidasi itu dengan sendirinya tidak berlaku manakala perspektif yang digunakan adalah perspektif pragmatis. Yakni kalkulasi "menang-kalah" dan upaya menghindari dampak buruk kekalahan di kemudian hari. Dampak buruk yang paling dikhawatirkan oleh partai-partai adalah terlempar jauh dari lingkaran pusat kekuasaan.  Secara akademik para ahli menyebut gejala serupa ini sebagai model perilaku politik kartel.

Premis dasar politik kartel adalah bahwa partai-partai sesungguhnya tidak bersaing satu sama lain, melainkan berkolusi untuk melindungi kepentingan kolektif mereka dan memastikan partainya tetap memiliki akses terhadap ruang pemanfaatan kekuasaan.

Jadi, kesepakatan tujuh pertai politik memberikan dukungan terhadap Andra-Dimyati demikian mudahnya terwujud boleh jadi karena ketersanderaan oleh perilaku politik kartel. Ketujuh partai ini, minus Gerindra tentu saja, memiliki kekhawatiran yang kurang lebih sama. Yakni terlempar jauh dari lingkaran pusat kekuasaan dan karenanya tertutuplah semua akses untuk bisa memanfaatkan kekuasaan lantaran kalah atau menjadi bagian dari kubu yang kalah dalam Pilkada.

Pikiran semacam itu bisa dengan mudah "menghantui" partai-partai dalam perhelatan Pilkada mengingat pengalaman otentik Pilpres 2024 lalu perihal kedigdayaan pengaruh kekuasaan dalam membantu pemenangan paslon yang didukungnya.

Lantas, masalahkah gejala politik kartel itu bagi masyarakat ? Tentu saja.  Pertama, politik kartel membuat partai-partai politik sesungguhnya tidak benar-benar memperjuangkan suara dan aspirasi rakyat. Mereka lebih berkepentingan pada upaya bagaimana menjaga partainya masing-masing dari potensi buruk sebagai akibat kekalahan dalam kontestasi Pilkada.

Kedua, politik kartel potensial melahirkan situasi Pilkada dimana rakyat dihadapkan pada pilihan yang sangat minimalis. Bahkan tidak mustahil menciptakan paslon tunggal Pilkada karena semua partai tidak memiliki keberanian menawarkan paslon alternatif dan memilih berkerumun dalam koalisi tambun.

Artikel terkait: https://www.kompasiana.com/www.tisna_1965.com/66601251c925c465427916a2/konstelasi-politik-menjelang-kandidasi-pilgub-banten

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun