Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

"Satyameva Jayate", Isyarat PDIP Siap Menjadi Oposisi

25 Mei 2024   13:37 Diperbarui: 27 Mei 2024   03:45 878
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Harapan publik, setidaknya bagian masyarakat yang pada saat Pilpres kemarin tidak mendukung Paslon Prabowo-Gibran, nampaknya akan menjadi kenyataan.

Meski enggan menggunakan istilah "Oposisi" dan lebih memilih frasa "Berada di luar pemerintahan", secara substantif PDIP siap menjalankan fungsi-fungsi oposisional untuk pemerintahan mendatang. Yakni dengan mengambil peran dan melakukan fungsi check and balances.

Isyarat ini cukup jelas dapat disimak dari pidato politik Megawati pada sesi pembukaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) V PDIP di Beach City International Stadium Ancol, Jakarta, 24 Mei 2024.

Satyameva Jayate

Selain dari materi pidato Megawati, isyarat menjadi oposisi juga sudah nampak pada tema besar Rakernas yang terpampang di backdrop kegiatan. "Satyameva Jayate," Kebenaran Pasti Menang.

Teks ini diambil dari kitab Hindu Mundaka Upanishad, yang diadopsi menjadi semboyan nasional kemerdekaan India pasca negeri itu menjadi republik tahun 1950.

Narasi lengkap semboyan itu berbunyi sebagai berikut: Satyameva jayate nnrtam. Satyena panth vitato devayna. Yenkramantrayo hyptakm. Yatra tat satyasya paraman nidhnam. Artinya kurang lebih : Hanya kebenaran yang menang; bukan kebohongan. Melalui kebenaran, jalan ilahi disebarkan melalui mana orang bijak yang keinginannya telah terpenuhi sepenuhnya, mencapai tempat di mana harta tertinggi Kebenaran berada.

Dari tema itu siapa pun bisa membaca pikiran yang tersimpan di baliknya. PDIP dan Megawati meyakini bahwa perhelatan Pilpres kemarin telah dimenangkan oleh kubu yang salah. Salah dalam arti kemenangan kontestasi yang mereka peroleh dilakukan dengan cara-cara yang menyimpang jauh dari prinsip-prinsip demokrasi elektoral.

Dari cara berpikir ini, Megawati kemudian meyakini bahwa dengan terus berjuang pada saatnya nanti kebenaran akan menemukan jalan kemenangannya. Satyameva Jayate!

Sampai disini dulu. Saya sempat membayangkan, narasi yang sama mestinya juga diucapkan oleh Nasdem, PKB dan PKS. Tetapi kita tahu, alih-alih mengucapkan sikap konsistensi, Nasdem dan PKB justru malah sigap mengubah haluan, bergabung dengan Prabowo-Gibran. PKS, meksi belum ada sinyal kuat merapat juga ke pemerintahan baru, hingga saat ini masih "abu-abu" dan mulai sibuk dengan persiapan Pilkada.

Residu Pemilu 2024    

Kembali ke pidato Megawati. Di hadapan ribuan peserta dan undangan Rakernas V itu Megawati menyorot kembali berbagai residu problematik penyelenggaraan Pemilu, khususnya Pilpres 2024 kemarin.

Mulai dari tidak optimalnya kerja-kerja fungsional KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara Pemilu, keterlibatan TNI-Polri dalam membantu pemenangan Paslon 02, kecurangan terstruktur sistematis dan masif, anomali demokrasi yang telah melahirkan watak kepemimpin authoritarian populism, Mahkamah Konstitusi yang dinilainya telah berubah dan bisa diintervensi kekuasaan, hingga akhirnya menegaskan bahwa Pemilu 2024 telah menjadi Pemilu terburuk sepanjang sejarah demokrasi elektoral Indonesia.

Bagi Megawati Pemilu 2024 adalah kontestasi politik yang paling buruk dalam sejarah demokrasi di Indonesia. "Pernyataan ini banyak disuarakan oleh para akademisi, para tokoh masyarakat sipil, guru besar, hingga seniman, budayawan," ujarnya. Kesemuanya ini ditunjukan melalui praktek penyalahgunaan kekuasaan dengan menggunakan sumber daya negara demi kepentingan elektoral.

www.rri.co.id
www.rri.co.id

Megawati juga menyebutkan bahwa telah terjadi intimidasi hukum atas nama kekuasaan. Kemudian soal kecurangan Pemilu khususnya terkait Pilpres, Megawati membuka kembali fakta bahwa telah terjadi kecurangan TSM Pilpres. Hal ini terbukti dengan dengan adanya dissenting opinion dari tiga hakim konstitusi, yakni Arief Hidayat, Profesor Saldi Isra, dan Enny Nurbaningsih.

"Makanya haduh nih Mahkamah Konstitusi juga sama. Kenapa? Bisa diintervensi oleh kekuasaan. Nampak jelas melalui keputusan perkara nomor 90 yang menimbulkan begitu banyak antipasti. Ambisi kekuasaan sukses mematikan etika moral dan hati nurani hingga tumpang tindih kewenangannya dalam demokrasi yang sehat."

Masih terkait kecurangan TSM itu Megawati mengungkapkan keheranan retoriknya, "Kok saya ini presiden ketika pemilu langsung pertama loh, bertanggung jawab berhasil loh. Loh iya loh. Loh kok sekarang, pemilunya langsung tapi kok jadi abu-abu gitu, sudah direkayasa, gitu. Kurang apa loh.... Kita ini negara demokrasi menjalankan demokratisasi, untuk apa ada reformasi? Kalau reformasi sekarang menurut saya kok sepertinya hilang dalam sekejap." 

Kemudian berkenaan dengan posisi TNI-Polri yang dinilainya telah menyimpang dari amanat reformasi, Megawati menyatakan kegusarannya. "Masa TNI Polri dibawa lagi ke politik praktis sebagaimana kita rasakan dalam pilpres yang baru saja berlalu. Saya tuh sedihnya ya gitu," ujarnya. Dia kemudian menyebut sejarah kelam penyalahgunaan institusi TNI-Polri untuk kepentingan politik melalui instrumen Dwifungsi ABRI di era orde baru yang telah susah payah dihapus pada awal reformasi melalui Tap MPR Nomor VI/MPR/2000.

Kalkulasi Politik Menjadi Oposisi

Dari keseluruhan isi pidatonya, baik teks resmi yang beredar di media maupun dari narasi yang diucapkannya, memang tidak ada pernyataan eksplisit bahwa PDIP akan menjadi oposisi atau berada di luar pemerintahan mendatang.

Namun dari politik simbol yang digunakan dan diekspresikan, narasi pidato yang sarat dengan kritik dan gugatan serta penekanan pentingnya check and balances dilakukan dalam pemerintahan kedepan cukup jelas, bahwa PDIP nampaknya bakal mengambil peran sebagai penyeimbang, pengontrol pemerintahan Prabowo-Gibran kedepan. Gestur Megawati saat pidato dan nuansa Rakernas juga memperkuat isyarat yang sama.

Sebagaimana pernah saya tulis dalam beberapa artikel sebelumnya, pilihan ideal bagi PDIP saat ini adalah mengambil peran sebagai oposisi pemerintahan. Pertama, menjadi oposisi bagi PDIP artinya menjaga konsistensi sikap dan pandangan politik partai sebagaimana telah ditunjukannya selama perhelatan Pilpres hingga sekarang.

Kedua, meski menjadi partai pemenang dalam Pemilu legislatif, Paslon Presiden-Wapres PDIP kalah dalam Pilpres. Etika paling lazim dan terhormat sebagai implikasi demokrasi elektoral PDIP mestinya memang ikhlas dan siap menjadi kelompok oposisi (atau apapun istilahnya) di parlemen.

Ketiga, meski kalah dalam kontestasi Pilpres, Paslon yang diusung PDIP tetap mendapatkan dukungan rakyat yang tidak sedikit, sekitar dua puluh jutaan pemilih. Suara konstituen ini jelas tidak boleh dianggap sepele, terlebih jika digabung dengan suara yang diamanahkan pemilih kepada Anies-Muhaimin. Suara-suara ini adalah pilihan sikap politik rakyat yang wajib diperjuangkan pasca pemerintahan baru definitif nanti.

Last but not least, memilih menjadi oposisi sejatinya merupakan cara merawat demokrasi yang sehat, demokrasi yang sesungguhnya. Tanpa kehadiran oposisi potensi lahir dan berkembangnya kembali neo-otoritarianisme bakal sangat terbuka. Karena kekuasaan akan minus kontrol, dan dengan demikian segala kebijakan pemerintah (termasuk yang tidak memihak pada kepentingan rakyat) bisa dengan mudah diproduksi rezim dan merugikan rakyat.

Dalam jangka pendek, dengan mengambil jalan oposisi, PDIP memang tidak akan memperoleh "keuntungan politik" berupa portofolio jabatan di kementerian dan/atau lembaga yang setara, termasuk BUMN yang selama ini kerap menjadi ladang perburuan para elit partai dan relawan. Bahkan bisa juga menjadi "musuh bersama" partai-partai di kubu pemerintah.

Namun dalam jangka panjang (setidaknya satu periode lima tahun pemerintahan ke depan) dan dalam konteks kepentingan kebangsaan yang lebih luas, PDIP akan memperoleh insentif politik dari rakyat dan bangsa ini. Dan saya kira, memilih dicintai rakyat dan bangsa ini jauh lebih menguntungkan ketimbang satu dua kursi menteri di kabinet, serta tetap mulia dan tehormat meski mungkin "dimusuhi" lawan-lawan politik di pemerintahan. Satyameva Jayate!

Artikel terkait:  Kontekstualitas Diksi "Mengganggu" dalam Pernyataan Politik Prabowo 

Artikel terkait: Posisi Anies-Ganjar Pasca Pilpres dan Godaan Pilkada

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun