Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

"Satyameva Jayate", Isyarat PDIP Siap Menjadi Oposisi

25 Mei 2024   13:37 Diperbarui: 27 Mei 2024   03:45 712
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mulai dari tidak optimalnya kerja-kerja fungsional KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara Pemilu, keterlibatan TNI-Polri dalam membantu pemenangan Paslon 02, kecurangan terstruktur sistematis dan masif, anomali demokrasi yang telah melahirkan watak kepemimpin authoritarian populism, Mahkamah Konstitusi yang dinilainya telah berubah dan bisa diintervensi kekuasaan, hingga akhirnya menegaskan bahwa Pemilu 2024 telah menjadi Pemilu terburuk sepanjang sejarah demokrasi elektoral Indonesia.

Bagi Megawati Pemilu 2024 adalah kontestasi politik yang paling buruk dalam sejarah demokrasi di Indonesia. "Pernyataan ini banyak disuarakan oleh para akademisi, para tokoh masyarakat sipil, guru besar, hingga seniman, budayawan," ujarnya. Kesemuanya ini ditunjukan melalui praktek penyalahgunaan kekuasaan dengan menggunakan sumber daya negara demi kepentingan elektoral.

www.rri.co.id
www.rri.co.id

Megawati juga menyebutkan bahwa telah terjadi intimidasi hukum atas nama kekuasaan. Kemudian soal kecurangan Pemilu khususnya terkait Pilpres, Megawati membuka kembali fakta bahwa telah terjadi kecurangan TSM Pilpres. Hal ini terbukti dengan dengan adanya dissenting opinion dari tiga hakim konstitusi, yakni Arief Hidayat, Profesor Saldi Isra, dan Enny Nurbaningsih.

"Makanya haduh nih Mahkamah Konstitusi juga sama. Kenapa? Bisa diintervensi oleh kekuasaan. Nampak jelas melalui keputusan perkara nomor 90 yang menimbulkan begitu banyak antipasti. Ambisi kekuasaan sukses mematikan etika moral dan hati nurani hingga tumpang tindih kewenangannya dalam demokrasi yang sehat."

Masih terkait kecurangan TSM itu Megawati mengungkapkan keheranan retoriknya, "Kok saya ini presiden ketika pemilu langsung pertama loh, bertanggung jawab berhasil loh. Loh iya loh. Loh kok sekarang, pemilunya langsung tapi kok jadi abu-abu gitu, sudah direkayasa, gitu. Kurang apa loh.... Kita ini negara demokrasi menjalankan demokratisasi, untuk apa ada reformasi? Kalau reformasi sekarang menurut saya kok sepertinya hilang dalam sekejap." 

Kemudian berkenaan dengan posisi TNI-Polri yang dinilainya telah menyimpang dari amanat reformasi, Megawati menyatakan kegusarannya. "Masa TNI Polri dibawa lagi ke politik praktis sebagaimana kita rasakan dalam pilpres yang baru saja berlalu. Saya tuh sedihnya ya gitu," ujarnya. Dia kemudian menyebut sejarah kelam penyalahgunaan institusi TNI-Polri untuk kepentingan politik melalui instrumen Dwifungsi ABRI di era orde baru yang telah susah payah dihapus pada awal reformasi melalui Tap MPR Nomor VI/MPR/2000.

Kalkulasi Politik Menjadi Oposisi

Dari keseluruhan isi pidatonya, baik teks resmi yang beredar di media maupun dari narasi yang diucapkannya, memang tidak ada pernyataan eksplisit bahwa PDIP akan menjadi oposisi atau berada di luar pemerintahan mendatang.

Namun dari politik simbol yang digunakan dan diekspresikan, narasi pidato yang sarat dengan kritik dan gugatan serta penekanan pentingnya check and balances dilakukan dalam pemerintahan kedepan cukup jelas, bahwa PDIP nampaknya bakal mengambil peran sebagai penyeimbang, pengontrol pemerintahan Prabowo-Gibran kedepan. Gestur Megawati saat pidato dan nuansa Rakernas juga memperkuat isyarat yang sama.

Sebagaimana pernah saya tulis dalam beberapa artikel sebelumnya, pilihan ideal bagi PDIP saat ini adalah mengambil peran sebagai oposisi pemerintahan. Pertama, menjadi oposisi bagi PDIP artinya menjaga konsistensi sikap dan pandangan politik partai sebagaimana telah ditunjukannya selama perhelatan Pilpres hingga sekarang.

Kedua, meski menjadi partai pemenang dalam Pemilu legislatif, Paslon Presiden-Wapres PDIP kalah dalam Pilpres. Etika paling lazim dan terhormat sebagai implikasi demokrasi elektoral PDIP mestinya memang ikhlas dan siap menjadi kelompok oposisi (atau apapun istilahnya) di parlemen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun