Pernyataan yang jauh dari bijak itu dapat menyurutkan semangat generasi muda untuk menuntut ilmu pengetahuan dan teknologi sekaligus dapat meredupkan cita-cita mereka untuk mewujudkan masa depannya yang lebih baik.
Kemudian secara psikologi sosial pernyataan bahwa kuliah atau pendidikan tinggi hanya pilihan dengan satu catatan jika memiliki kemampuan finansial juga dapat melukai perasaan para orang tua mahasiswa yang secara ekonomi kurang atau bahkan tidak mampu.
Sebagai warga negara yang berhak atas pelayanan dan perlindungan negara dari kebodohan dan stagnasi kehidupan serta berbagai faktor yang dapat menyebabkan mereka terjebak dalam ketertinggalan dan kemiskinan akut pernyataan itu bisa memicu merebaknya pikiran bahwa negara tidak hadir dalam kehidupan mereka.
Penting disadari bahwa pendidikan, meski bukan satu-satunya, ia merupakan media paling efektif dan terbukti sebagai jalan bagi banyak orang untuk mengubah nasib pribadi bahkan keluarganya. Dengan pendidikan yang memadai setiap warga negara bisa melakukan mobilitas vertikal secara sosial. Dan lagi-lagi, adalah peran negara untuk hadir memfasilitasi harapan, cita-cita dan semangat manusiawi mereka.Â
Kontra-Spirit
Dilihat dari sudut pandang capaian Visi Indonesia 2024 pernyataan Tjitjik juga kontra-spirit, berlawanan dengan semangat untuk mewujudkan Indonesia Emas pada usia 100 tahun mendatang. Ada 4 pilar penyangga untuk bisa mewujudkan Visi Indonesia 2045. Salah satu sekaligus menjadi pilar pertama dari keempat pilar itu adalah Pembangunan Manusia serta Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Pada pilar pertama itu dapat dicapai dengan melakukan berbagai upaya meliputi: percepatan pendidikan rakyat Indonesia secara merata, peningkatan peran kebudayaan dalam pembangunan, peningkatan sumbangan ilmu pengetahuan dan teknologi, peningkatan derajat dan kualitas hidup rakyat, serta reformasi ketenagakerjaan.
Pendidikan adalah kunci untuk menghasilkan generasi tangguh yang ditandai dengan penguasaan Iptek yang memadai, kecerdasan dan daya saing tinggi serta kompetitif, sekaligus karakter yang unggul. Dan pendidikan tinggi merupakan jalan untuk memperpendek jarak antara kebodohan dan serba ketertinggalan dengan capaian-capaian keunggulan itu.
Perihal UKT, Negara Wajib Hadir
Muasal dari keluarnya pernyataan blunder pejabat Kemendikbudristek itu berkaitan dengan isu kenaikan Uang Kuliah Tungga (UKT), yang ironisnya justru banyak terjadi di lingkungan PTN, perguruan tinggi milik pemerintah. Fakta ini membuat pernyataan Tjitjik terasa semakin blunder dan memicu pertanyaan banyak pihak, dari kalangan pemerhati, pegiat pendidikan, para wakil rakyat dan masyarakat luas.
Alih-alih memberikan respons yang bijak dan solutif karena mereka adalah pemilik otoritas tata kelola pendidikan tinggi, pemerintah (cq. Kemendikbudristek) seolah justru tidak memiliki kapasitas untuk mencarikan jalan keluar dan menyelesaikannya. Bahwa PTN-PTN memiliki ragam status yang secara operasional diberikan kewenangan otonomi baik yang Badan Hukum (BH) maupun Badan Layanan Umum (BLU) tidak bisa dijadikan alasan Kemendikbudristek untuk bersikap pasif menghadapi kasus kenaikan UKT di sejumlah PTN yang berada dibawah naungan otoritasnya yang kebablasan ini.
Jangan sampai publik berkesimpulan Kemendkibudristek kehilangan keberanian dan cara untuk mengatasi dan mencarikan solusinya. Kementerian adalah wajah negara yang wajib hadir di tengah rakyat yang membutuhkan. Dan seperti kerap diucapkan Presiden Jokowi, pelayanan yang diberikan kementerian dan lembaga merupakan wajah kongkrit kehadiran negara itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H