Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama I Nominee Kompasiana Award 2024 - Best in Opinion

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

"Kuliah Tersier", Blunder yang Perlu Dikoreksi

19 Mei 2024   17:44 Diperbarui: 20 Mei 2024   07:52 1833
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelaksana Tugas Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud Ristek, Prof. Tjitjik Tjahjandarie di di Kantor Kemendikbud Ristek, Jakarta Selatan, Rabu (15/5/2024). (KOMPAS.com/SANIAMASHABI)

Kuliah memang tersier, tidak setara dengan sandang, pangan dan papan. Bahkan juga masih berada di bawah level kebutuhan lain yang bersifat sekunder seperti kendaraan pribadi, perabotan rumah tangga dll.

Kuliah adalah sejenis kemewahan yang tidak mungkin bisa ditempuh oleh semua warga negara yang secara sosial ekonomi tersebar ke dalam stratifikasi yang sangat beragam dan terbelah kedalam ruang-ruang kesenjangan.

Dan satu lagi, faktanya tidak semua anak lulusan sekolah menengah juga memiliki minat dan semangat yang sama untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi, entah vokasi atau sarjana, dengan berbagai alasan.

Tapi soalnya bukan di situ. Ini adalah ranah pendidikan, jalan utama untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, meningkatkan kualitas, membangun kecakapan serta meng-upgrade daya saing sumber daya manusia. Bukan soal kategorisasi prioritas kebutuhan.

Frasa "mencerdaskan kehidupan bangsa" sebagai visi abadi nasional di dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang diletakan rumusannya oleh pendiri bangsa pada posisi ketiga juga tidak bisa dimaknai bahwa capaiannya bersifat opsional sesuai urutan pencantuman.

Keempat butir visi abadi atau cita-cita nasional itu adalah satu kesatuan utuh yang ikhtiar untuk mewujudkannya harus dilakukan secara simultan, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Oleh sebab itu pernyataan pejabat Kemendikbud yang menyatakan bahwa pendidikan tinggi itu tidak wajib dan hanya bersifat tertiary education perlu dikoreksi dan diluruskan.

Pernyataan blunder ini dikemukakan oleh Tjitjik Tjahjandarie, Plt Sekretaris Jenderal Direktorat Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek, saat merespons mahalnya Uang Kuliah Tunggal (UKT) di sejumlah Perguruan Tinggi Negeri (PTN).

Menyurutkan Semangat, Melukai Perasaan

Tjitjik memang punya alasan normatif ketika mengungkapkan pernyataan itu. Dia gunakan argumen bahwa kuliah atau pendidikan tinggi tidak termasuk ke dalam program wajib belajar 12 tahun. Tetapi ia nampaknya lupa, bahwa 12 tahun masa wajib belajar itu adalah batas minimal kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemerintah.

Ketika kesadaran pendidikan anak-anak bangsa meningkat, khususnya kalangan generasi muda. Dan semangat mereka untuk menempuhnya tumbuh pesat pemerintah mestinya berbangga hati dan merespons fenomena ini dengan bijak. Bukan justru meredamnya dengan pernyataan blunder bahwa kuliah itu kebutuhan tersier, tidak wajib. Sekali lagi, mencerdaskan kehidupan bangsa adalah amanat konstitusi yang wajib ditunaikan oleh negara.

Pernyataan yang jauh dari bijak itu dapat menyurutkan semangat generasi muda untuk menuntut ilmu pengetahuan dan teknologi sekaligus dapat meredupkan cita-cita mereka untuk mewujudkan masa depannya yang lebih baik.

Kemudian secara psikologi sosial pernyataan bahwa kuliah atau pendidikan tinggi hanya pilihan dengan satu catatan jika memiliki kemampuan finansial juga dapat melukai perasaan para orang tua mahasiswa yang secara ekonomi kurang atau bahkan tidak mampu.

Sebagai warga negara yang berhak atas pelayanan dan perlindungan negara dari kebodohan dan stagnasi kehidupan serta berbagai faktor yang dapat menyebabkan mereka terjebak dalam ketertinggalan dan kemiskinan akut pernyataan itu bisa memicu merebaknya pikiran bahwa negara tidak hadir dalam kehidupan mereka.

Penting disadari bahwa pendidikan, meski bukan satu-satunya, ia merupakan media paling efektif dan terbukti sebagai jalan bagi banyak orang untuk mengubah nasib pribadi bahkan keluarganya. Dengan pendidikan yang memadai setiap warga negara bisa melakukan mobilitas vertikal secara sosial. Dan lagi-lagi, adalah peran negara untuk hadir memfasilitasi harapan, cita-cita dan semangat manusiawi mereka. 

Kontra-Spirit

Dilihat dari sudut pandang capaian Visi Indonesia 2024 pernyataan Tjitjik juga kontra-spirit, berlawanan dengan semangat untuk mewujudkan Indonesia Emas pada usia 100 tahun mendatang. Ada 4 pilar penyangga untuk bisa mewujudkan Visi Indonesia 2045. Salah satu sekaligus menjadi pilar pertama dari keempat pilar itu adalah Pembangunan Manusia serta Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

Pada pilar pertama itu dapat dicapai dengan melakukan berbagai upaya meliputi: percepatan pendidikan rakyat Indonesia secara merata, peningkatan peran kebudayaan dalam pembangunan, peningkatan sumbangan ilmu pengetahuan dan teknologi, peningkatan derajat dan kualitas hidup rakyat, serta reformasi ketenagakerjaan.

Pendidikan adalah kunci untuk menghasilkan generasi tangguh yang ditandai dengan penguasaan Iptek yang memadai, kecerdasan dan daya saing tinggi serta kompetitif, sekaligus karakter yang unggul. Dan pendidikan tinggi merupakan jalan untuk memperpendek jarak antara kebodohan dan serba ketertinggalan dengan capaian-capaian keunggulan itu.

Perihal UKT, Negara Wajib Hadir

Muasal dari keluarnya pernyataan blunder pejabat Kemendikbudristek itu berkaitan dengan isu kenaikan Uang Kuliah Tungga (UKT), yang ironisnya justru banyak terjadi di lingkungan PTN, perguruan tinggi milik pemerintah. Fakta ini membuat pernyataan Tjitjik terasa semakin blunder dan memicu pertanyaan banyak pihak, dari kalangan pemerhati, pegiat pendidikan, para wakil rakyat dan masyarakat luas.

Alih-alih memberikan respons yang bijak dan solutif karena mereka adalah pemilik otoritas tata kelola pendidikan tinggi, pemerintah (cq. Kemendikbudristek) seolah justru tidak memiliki kapasitas untuk mencarikan jalan keluar dan menyelesaikannya. Bahwa PTN-PTN memiliki ragam status yang secara operasional diberikan kewenangan otonomi baik yang Badan Hukum (BH) maupun Badan Layanan Umum (BLU) tidak bisa dijadikan alasan Kemendikbudristek untuk bersikap pasif menghadapi kasus kenaikan UKT di sejumlah PTN yang berada dibawah naungan otoritasnya yang kebablasan ini.

Jangan sampai publik berkesimpulan Kemendkibudristek kehilangan keberanian dan cara untuk mengatasi dan mencarikan solusinya. Kementerian adalah wajah negara yang wajib hadir di tengah rakyat yang membutuhkan. Dan seperti kerap diucapkan Presiden Jokowi, pelayanan yang diberikan kementerian dan lembaga merupakan wajah kongkrit kehadiran negara itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun