Bagi para elit partai, kesiapan para bakal calon menyediakan ongkos politik itu nampkanya akan dinilai jauh lebih berguna dalam kontestasi Pilkada ketimbang modalitas yang serba abstrak seperti kepribadian dan integritas, kompetensi, atau gagasan-gagasan otentik dari figur-figur potensial kepemimpinan di daerah. Â Â
Kedua, sikap permisif sekaligus juga watak pragmatis masyarakat (pemilih) sendiri dalam memaknai proses kontestasi Pilkada. Mayoritas masyarakat pada umumnya menganggap praktik mahar politik dan politik uang serta kehadiran politik dinasti sebagai hal yang sudah normal dan wajar. Â
Sikap permisif itu semakin menjadi-jadi ketika masyarakat dihadapkan pada praktik-praktik kontestasi elektoral yang secara materil dianggap "menguntungkan."
Politik uang adalah bentuk paling kongkretnya. Dalam konteks ini watak pragmatis para elit dan figur-figur calon yang ditawarkan bersitemu dengan watak pragmatis yang sama dari masyarakat (pemilih).
Pada sebagian yang lain mungkin bukan permisif, melainkan lebih ke sikap apatis, masa bodoh karena menganggap siapapun paslon terpilih tidak akan membawa perubahan berarti bagi kehidupan pribadi dan keluarganya.
Ketiga, khusus terkait isu kebangkitan (revivalisme) politik dinasti, pada Pilkada serentak 2024 ini nampaknya bakal kian marak dan menguat di berbagai daerah. Selain karena sudah banyak contoh pendahuluan dan berlangsung dalam beberapa kali Pilkada sebelumnya sejak digelar pertama kali tahun 2005 silam.
Fakta majunya Gibran, putra Presiden Jokowi yang masih aktif, sebagai Cawapres dan kemudian terpilih dalam perhelatan Pilpres kemarin nampaknya akan menjadi semacam alasan "pembenar" bagi para petahana untuk tidak ragu-ragu lagi saling mendorong dan mempromosikan anggota keluarga atau kerabatnya maju melanjutkan kekuasaan di daerah masing-masing.
Mengembalikan Pilkada pada Khittahnya
Pertanyaan berikutnya, lantas bagaimana dan upaya apa saja yang bisa dilakukan untuk meluruskan berbagai gejala distorsif itu supaya jalan terang demokrasi tidak terus menerus digelapi oleh penyimpangan-penyimpangan demokrasi elektoral, baik sebelum dan saat pelaksanaan atau sesudah perhelatan Pilkada berakhir?
Hemat saya, sedikitnya ada tiga pendekatan atau upaya yang bisa dilakukan. Mungkin tidak akan cukup efektif mengingat berbagai distorsi itu, seumpama penyakit, sudah sedemikian akut dan menahun.
Tetapi sebagai upaya hal ini tetap perlu ditempuh untuk memastikan bahwa bangsa ini tidak menyerah pada keadaan. Ketiga pendekatan dimaksud adalah sebagai berikut. Â Â
Pertama, pendidikan politik Pemilih atau secara lebih spesifik penguatan literasi Pilkada. Langkah ini dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan dan memperkuat kesadaran kritis Pemilih. Melalui langkah ini para pemilih diharapkan menjadi lebih aware dan kritis secara politik sekaligus lebih rasional dan cerdas secara elektoral.