Secara teoritik praktik politik dinasti menimbulkan berbagai ancaman problematis dalam kehidupan politik di aras lokal. Dalam kerangka konsolidasi demokrasi lokal, praktik politik dinasti mempersempit ruang partisipasi publik sekaligus menegasikan salah satu prinsip dasar demokrasi, yakni kesetaraan politik.
Selain itu, politik dinasti juga hanya akan memperkokoh gejala oligarkis di daerah yang berpotensi melemahkan mekanisme check and balance karena jabatan-jabatan politik dikuasai oleh satu keluarga. Dalam pandangan Amich Alhumami (2016), politik kekerabatan atau dinasti politik tidak sesuai dengan prinsip meritokrasi.Â
Sebab, proses rekrutmen didasarkan pada sentimen kekeluargaan, bukan kompetensi. Jika terus berlanjut, gejala ini bisa kontraproduktif bagi ikhtiar membangun sistem demokrasi modern. Dominasi kekuasaan oleh sekelompok elit lokal atau keluarga yang demikian itu pada akhirnya akan menimbulkan kerawanan terjadinya berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) baik di ranah politik maupun ekonomi.
Pada saat yang sama praktik dinasti politik juga memberi pengaruh buruk terutama pada konteks kebutuhan penguatan dan pengembangan demokrasi, khususnya di aras lokal. Merujuk pada kajian John T. Sidel (1999) tentang local bossism misalnya, disimpulkan bahwa kehadiran model-model oligarkis, personalisme dan klientilisme (yang kesemuanya menjadi ruh/esensi dari karakteristik dinasti politik) telah menghambat proses konsolidasi dan pembangunan demokrasi di tingkat lokal.
Dalam bukunya yang lain, John T. Sidel bahkan menuding praktik dinasti sebagai pihak paling bertanggung jawab atas maraknya gejala personalisasi politik dan lemahnya kapasitas negara dan institusi politik. Proses pengambilan keputusan tak lagi didasarkan pada proses rasionalitas instrumental, tetapi didasarkan pada keputusan individual dari aktor-aktor dinasti yang berkuasa. Pelembagaan partai politik juga tersumbat karena asas meritokrasi ditundukkan oleh hubungan darah dan hubungan keluarga.
Sementara itu, Leo Agustino (2014) melihat pengaruh buruk praktik politik dinasti pada aspek pembangunan sosial, politik dan ekonomi, yang telah mengakibatkan peluang politik dan ekonomi setiap warga negara menjadi amat terbatas. Bukan hanya amat terbatas, peluang-peluang itu juga diasumsikan akan dimonopoli oleh penguasa dan kelompok-kelompok (keluarga, saudara, dan kerabat) yang dekat dengan pemegang kekuasaan.
Selain itu, praktik ini juga bukan saja memastikan seseorang dapat memonopoli sumber ekonomi dan politik, tetapi juga memudahkan mereka mendapat tempat atau kedudukan dalam kekuasaan dan menggunakan sumber politik dan ekonomi pada tataran lebih luas. Situasi ini tentu saja tak adil dan diskriminatif dilihat dari perspektif kesetaraan sebagai salah satu nilai paling esensial dari demokrasi.
Gejala "Roving Bandits"
Isu lain yang menggenapi sisi gelap Pilkada Langsung adalah munculnya Roving Bandits. Isu ini muncul setelah perhelatan Pilkada dan merupakan implikasi dari dua praktik buruk yang biasa terjadi dalam pelaksanaan Pilkada Langsung, yakni Mahar Politik dan Politik Uang yang sudah diulas pada artikel sebelumnya.
Merujuk pada kajian Agustino (2014), istilah Roving Bandits pertama kali dipopulerkan antara lain oleh McGuire dan Olson (1996), yang digunakan untuk menyebut para aktor lokal (daerah, subnasional) yang menjadi penguasa di daerah, lalu dengan kekuasaannya mereka menjarah habis sumberdaya lokal untuk kepentingan pribadi dan keluarganya.
Disebut Roving Bandits (bandit-bandit "kecil") karena dalam konteks kepolitikan Indonesia kontemporer muasal mereka merupakan "kaki-tangan" Stationary Bandit (bandit "besar") di era orde baru yang memainkan peran sebagai penjaga kepentingan ekonomi-politiknya di daerah.
Di era orde baru mereka merupakan orang-orang kuat lokal (local strongmen) dan bos-bos lokal (local bossis) yang memiliki posisi kuat karena relasi patron-client dengan Stationary Bandits itu. Ketika bandit besar itu rontok, mereka bermetamorfosa menjadi bandit-bandit yang mandiri di daerahnya masing-masing.