Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama I Nominee Kompasiana Award 2024 - Best in Opinion

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Menelisik Ulang Pilkada Langsung (2): Menolak Lupa Sisi Gelapnya

6 Mei 2024   18:02 Diperbarui: 8 Mei 2024   19:20 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belum lagi ongkos-ongkos politik di luar kategori mahar yang juga telah dikeluarkannya, yang boleh jadi lebih besar lagi jumlahnya. Inilah sebabnya, meski mungkin bukan satu-satunya faktor penyebab, mengapa kemudian banyak kepala daerah hasil Pilkada Langsung ditangkap KPK lantaran korupsi dengan berbagai modus operandi. Mulai dari suap, gratifikasi, setoran proyek, mark up anggaran, biaya perjalanan dinas fiktif dan lain-lain.

Jika sudah berdampak pada merebaknya kasus korupsi dan berbagai praktik abuse of power lainnya yang dilakukan oleh Kepala Daerah dan/atau Wakilnya, rentetan masalah berikutnya dengan mudah dapat diduga. Program pembangunan daerah terganggu, kualitas maupun kuantitas. Demikian juga berbagai pelayanan publik dan kemajuan daerah. Semua berawal dari mahar, muasal dari segala bentuk sial.

Situasi dapat menjadi lebih suram lagi pasca terpilihnya pasangan calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah yang menyediakan mahar atas bantuan pemodal (pengusaha) dengan komitmen atau transaksi "utang dan balas jasa" di kemudian hari. Temuan Harris-White (1999) seperti dikutip Leo Agustino, bentuk-bentuk komitmen itu antara lain berupa fakta-fakta berikut ini.

Pertama, manipulasi kebijakan untuk kepentingan pengusaha (si pemodal tadi). Kedua, pemaksaan swastanisasi aset-aset Pemerintahan Daerah. Ketiga, transaksi-transaksi "dibawah tangan" antara penguasa dan pengusaha dalam tender proyek-proyek pemerintah. Dalam kasus-kasus serupa ini, daerah pasca terpilihnya pemimpin hasil Pilkada menjadi arena perburuan rente dua pihak sekaligus. Yakni penguasa daerah terpilih dan pengusaha yang memodali pemenangannya dalam kontestasi.

Money Politics

Sisi gelap yang kedua adalah Money Politics (Politik Uang). Maraknya fenomena money politic dalam pengertian transaksi jual beli suara antara kandidat dengan para pemilih dalam setiap kali perhelatan Pilkada digelar di manapun, mencerminkan bahwa Pilkada Langsung sejauh ini belum menghasilkan para pemilih cerdas, otonom dan rasional.

Berbagai survei menunjukkan bahwa pemilih masih memberikan angka di kisaran 40- 50% permisif terhadap praktik money politic. Besaran angka permisifitas terhadap praktik money politic ini mengisyaratkan bahwa dalam perhelatan pilkada sebagian pemilih sebagai pemilik kedaulatan telah dengan sadar dan berjamaah menjual kedaulatan mereka kepada para kandidat dan partai politik pengusungnya.

Politik Uang itu bisa dalam bentuk paket bingkisan senilai 100-200 ribuan rupiah, atau amplop berisi uang dengan kisaran nominal yang kurang lebih setara. Selain itu karena kehadiran money politic bergantung pada hukum permintaan dan penawaran, maka praktik ini sesungguhnya juga mencerminkan bagaimana kualitas demokrasi (dalam hal ini kesiapan dan kepercayaan diri kontestasi dan kompetisi) para kandidat.

Para kandidat umumnya tidak cukup percaya diri akan dipilih dan mendapat mandat mayoritas dari rakyat tanpa "membeli" suara mereka. Dalam konteks ini maka nalar yang akan berlaku adalah: pemilih yang buruk tidak mungkin menghasilkan pemimpin yang baik.

Idem ditto dengan isu mahar politik, money politic faktanya memang telah membawa implikasi buruk dalam kehidupan politik lokal. Di sisi hulu proses politik (sosialisasi dan kampanye), selain tidak mengedukasi masyarakat, praktik ini merupakan bentuk kecurangan dan kejahatan elektoral yang mencederai hakikat demokrasi yang justru sedang dibangun dan dikembangkan melalui Pilkada.

Di sisi hilir (pasca pilkada), praktik money politic akan mendorong kandidat-kandidat terpilih untuk melakukan apapun yang bisa dengan segera mengembalikan ongkos politik guna membeli suara para pemilih itu.

Maka berbagai kebijakan dan program pemerintah potensial akan sarat dengan muatan kepentingan pribadi. Ujungnya lagi-lagi, korupsi dan korupsi di berbagai sektor tatakelola pemerintahan daerah. Mulai dari proses perencanaan anggaran yang tidak realistis dan jauh dari transparan, tender yang dimanipulasi, alokasi dana hibah yang irrasional, distribusi anggaran bantuan sosial (bansos) yang disunat dan lain-lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun