Di dalam UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang, isu mahar politik ini secara implisit sebetulnya masuk ke dalam kategori politik uang yang dilarang dan diancam dengan sanksi denda, bahkan pembatalan pencalonan sebagaimana bisa dibaca didalam Pasal 47 UU tersebut.
Rusak dari Hulu ke Hilir
Pelarangan mahar politik atau apapun istilahnya sepanjang ia mengandung substansi jual beli perahu partai untuk kepentingan pencalonan Pilkada tentu bukan tanpa alasan. Secara politik praktik transaksional ini berdampak luas, baik di tingkat hulu maupun hilir dari proses politik elektoral di daerah.
Di hulu praktik mahar politik mengakibatkan prinsip-prinsip ekualitas (kesetaraan) dan kompetisi sehat tergerus. Kemudian proses demokrasi elektoral dibajak oleh segelintir orang atau keluarga (para local bossis dan local strongman) yang memiliki sumberdaya finansial melimpah. Proses kandidasi tidak lagi berbasis integritas dan kompetensi figur, melainkan berbasis pada tumpukan uang yang bisa disetor ke partai politik.
Maka tidak mengherankan jika kemudian figur-figur nir-integritas (kepantasan) dan kompetensi (kecakapan) dengan mudah melenggang ke panggung kontestasi pilkada. Dan sebaliknya, figur-figur kepemimpinan lokal yang memiliki kompetensi dan integritas tinggi sulit bisa berkompetisi, bahkan sejak fase pra-kandidasi.
Masih di sisi hulu proses demokrasi elektoral di daerah, praktik mahar politik juga telah membuat partai politik dan elit-elitnya, di semua tingkatan, semakin pragmatik dari waktu ke waktu. Partai politik bahkan semakin kehilangan kesejatian kehadirannya dalam tradisi demokrasi yang benar. Yakni sebagai kancah perkaderan calon-calon pemimpin yang unggul dan sungguh-sungguh merepresentasikan aspirasi dan kebutuhan rakyat.
Proses kaderisasi yang seharusnya dijalankan dan menghasilkan talenta-talenta unggul kepemimpinan teramputasi oleh orientasi bagaimana meraup untung di musim semi elektorasi.Â
Dalam kaitan ini, apa yang di dalam tahapan pra-kandidasi dikenal sebagai tahapan proses penjaringan bakal calon oleh masing-masing partai politik, dalam praktiknya lebih sering merupakan proses tawar-menawar menyangkut seberapa besar ongkos politik dan logistik yang disanggupi oleh para bakal kandidat yang mendaftar. Visi Misi dan Program yang mereka tawarkan tidak lebih dari sekedar ritual untuk memenuhi ketentuan norma-prosedural belaka.
Dalam sejarah banyak Pilkada di tanah air, pada tahapan awal proses pra-kandidasi satu-dua partai memang selalu ada yang sempat membersitkan harapan. Mereka berkomitmen tidak akan memungut mahar politik, apalagi dengan mematok tarif tertentu.
Tetapi seiring dengan dinamika proses kandidasi yang berlangsung demikian rupa. Makin banyak figur yang mendaftar dan makin ketat persaingan, makin dahsyat syahwat berdagang, maka ujung-ujungnya partai-partai itu pun "mengalah" pada keadaan. Ketimbang tidak memperoleh apapun dalam perhelatan lima tahunan; maju sendiri atau berkoalisi dengan partai gurem, dan karenanya beresiko kalah bertarung, akhirnya satu demi satu partai-partai itu biasanya merapat ke koalisi besar.
Dengan pilihan langkah ini, setidaknya mereka tidak akan rugi dua kali. Artinya kalaupun kalah bertarung, mereka sudah mendapatkan kompensasi biaya ongkos perahu. Sekali lagi, basis orientasinya adalah keuntungan finansial, tidak lebih!
Sementara itu, di sisi hilir dari proses demokrasi Pilkada langsung, praktik mahar politik secara hipotetik telah dan akan terus melahirkan berbagai implikasi buruk terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hal pertama yang akan menggoda pikiran para Kepala Daerah dan Wakilnya yang terpilih adalah bagaimana mengembalikan mahar politik yang sudah dikeluarkannya tempo hari.