Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama I Nominee Kompasiana Award 2024 - Best in Opinion

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Menelisik Ulang Pilkada Langsung (1): Argumen Teoritik Mengapa Harus Pilkada Langsung?

6 Mei 2024   00:02 Diperbarui: 6 Mei 2024   00:11 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Demikian misalnya yang dinyatakan oleh Tip O Neil seperti dikutip Agustino (2014), "all politics is local." Maksudnya bahwa demokrasi akan berkembang subur dan terbangun kuat di aras nasional apabila pada tingkatan yang lebih rendah (lokal) nilai-nilai demokrasi berakar kuat.

Atau sebagaimana dinyatakan pula oleh Juan J. Linz dan Alfred Stepan (1996), bahwa suatu negara dikatakan demokratis bila memenuhi prasyarat antara lain memberikan kebebasan kepada warganya (termasuk di aras lokal) untuk merumuskan preferensi-preferensi politik mereka melalui jalur-jalur perserikatan, informasi dan komunikasi. 

Kemudian memberikan ruang berkompetisi yang sehat dan melalui cara-cara damai, serta tidak melarang siapapun berkompetisi untuk jabatan-jabatan politik, nasional maupun lokal.

Dalam konteks itu, Pilkada langsung mengejewantahkan adanya desentralisasi tatakelola kekuasaan pada tahap dan sumber muasalnya, yaitu rakyat. Kemudian seperti dinyatakan Joseph A. Schumpeter dalam Kacung Marijan (2007), bahwa demokrasi yang sesungguhnya memang hanya mungkin dapat diwujudkan manakala terdapat pranata politik yang memungkinkan terciptanya 3 (tiga) situasi politik ideal. Yaitu political equality, local accountability, dan local responsiveness. Dan pranata yang paling tepat untuk ini adalah penyelenggaraan Pilkada langsung oleh rakyat di daerah.

Semangat dan pikiran demokratisasi itulah yang telah mendasari pilihan sikap banyak pihak pada dekade pertama pasca reformasi 1999 untuk menyambut dan mendorong perubahan model Pilkada, dari elites vote ke popular vote.

Lantas, bagaimana capaian-capaian praktiknya setelah Pilkada langsung digelar sejak 2005 silam? Berhasilkah visi elektoral untuk menghadirkan demokrasi yang lebih substantif melalui perhelatan Pilkada langsung? Silahkan disimak pada bagian kedua artikel ini, bertajuk "Menelisik Kembali Pilkada Langsung (2): Menolak Lupa Sisi Gelapnya".  

Artikel terkait: https://www.kompasiana.com/www.tisna_1965.com/6635be2cde948f7e166a8527/membaca-kembali-plus-minus-pilkada-serentak

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun