Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama I Nominee Kompasiana Award 2024 - Best in Opinion

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Menelisik Ulang Pilkada Langsung (1): Argumen Teoritik Mengapa Harus Pilkada Langsung?

6 Mei 2024   00:02 Diperbarui: 6 Mei 2024   00:11 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam pengertian substantitf, demokrasi sebagai cara dan mekanisme bagaimana para pemimpin politik diseleksi dan dipilih oleh rakyat serta Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Langsung sebagai piranti teknis-operasionalnya terbilang masih relatif baru dalam sejarah elektoral dan suksesi kepemimpinan politik (eksekutif) di Indonesia.

Puluhan tahun sejak kemerdekaan 1945, bangsa ini tidak pernah menggunakan cara langsung pemilihan. Kecuali untuk jabatan kepala desa dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat di berbagai tingkatan. 

Pilkada langsung baru dilaksanakan setelah rezim orde baru berakhir. Tepatnya sejak tahun 2005 menyusul pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang untuk pertama kalinya dilaksanakan secara langsung tahun 2004.

UUD 1945 sendiri memang tidak secara eksplisit memerintahkan penggunaan mekanisme Pilkada Langsung untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah. Teks pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menyatakan, bahwa "Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah propinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis".

Frasa "dipilih secara demokratis" dalam teks pasal ini mengisyaratkan jalan opsional. Artinya Pilkada dapat dilaksanakan secara langsung, bisa juga tidak langsung, sepanjang perhelatannya memenuhi prinsip-prinsip demokrasi.

Tetapi kemudian mekanisme pemilihan tidak langsung yang dilakukan oleh DPRD dinilai oleh para ahli mengandung suatu kelemahan mendasar terutama dilihat dari sudut pandang partisipasi sebagai nilai paling penting dari demokrasi. Karena dengan mekanisme perwakilan, rakyat sebagai pemilik kedaulatan diamputasi hak politiknya untuk menentukan secara langsung siapa bakal calon pemimpinnya di daerah.

Gugatan terhadap mekanisme perwakilan dalam pilkada itu makin menguat dan membutuhkan jalan keluar ketika dalam praktiknya pilkada yang dilaksanakan dengan cara elites vote itu terbukti pula telah melahirkan berbagai kecenderungan atau fenomena contradictio in terminis.

Misalnya bahwa pilkada oleh DPRD kerap mereduksi preferensi rakyat terhadap figur-figur yang dianggap cakap dan pantas. Produk pilihan DPRD dianggap tidak sungguh-sungguh merepresentasikan kehendak rakyat. Dalam banyak kasus bahkan kerap lebih mencerminkan pilihan segelintir elit politisi di Jakarta, atau kolaborasi kepentingan elit lokal dan nasional. Dalam konteks ini terminologi demokrasi bahwa kekuasaan berada di tangan rakyat seolah kemudian menjadi semu dan jauh dari substantif.

Basis Teoritik Pilkada Langsung

Dalam kerangka mewujudkan demokrasi substantif itu, para ilmuwan politik penganut pendekatan kelembagaan baru (new institusionalism) seperti Samuel Huntington, Brian Smith, James March dan Johan Olsen sepakat perihal pentingnya proses demokratisasi ditempuh.

Secara terminologis terma demokratisasi dimaknai sebagai proses politik yang dijalankan bersama oleh pemerintah dengan masyarakat dalam kerangka perubahan menuju dan untuk menciptakan kehidupan politik yang demokratis di suatu negara. Dengan kata lain, demokratisasi dapat dinyatakan sebagai proses dan upaya penguatan (konsolidasi) demokrasi itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun