Jika Pilkada dipisah dalam waktu yang berbeda, maka anggaran honorarium dan operasional itu tentu harus disiapkan duakali untuk dua proses pemilihan lokal yang berbeda.
Penghematan ini juga bisa berlaku dalam biaya sosialisasi oleh KPU daerah sebagai penyelenggara. Baik dalam bentuk kegiatan maupun pengadaan berbagai alat peraga sosialisasi (baliho, spanduk, poster, dll).
Ketiga, penyerentakan Pilkada baik dengan Pemilu nasional meski dalam waktu yang berbeda maupun antara Pilgub dengan Pilbup dan Pilwalkot akan mengurangi potensi kejenuhan politik elektoral dalam masyarakat. Baik berkenaan dengan tahapan-tahapan pra-pencoblosan seperti pencalonan, sosialisasi dan kampanye maupun terkait dengan keharusan datang ke TPS untuk memberikan suara.
Kita tahu, sebelum dilakukan secara serentak (Pemilu nasional dan Pilkada) misalnya, masyarakat harus datang ke TPS dan memilih sebanyak 4 kali dalam setiap lima tahun (satu periode masa jabatan pemerintahan). Yakni Pemilu legislatif untuk memilih anggota DPR, DPD dan DPR, Pemilu Presiden-Wakil Presiden, Pemilihan Gubernur, dan Pemilihan Bupati atau Walikota.
Bahkan menjadi lima kali dalam setiap lima tahun jika Pemilihan Kepala Desa (PIlkades) disertakan dalam hitungan. Dengan penyerentakan seperti dimulai tahun 2024 ini, masyarakat cukup datang dua kali. Yakni pada Pemilu nasional (Pileg dan Pilpres) dan Pilkada (Pilgub dan Pilbup atau Pilwalkot).
Terakhir, dengan penyerentakan Pilkada baik dengan Pemilu nasional maupun antara Pilgub dengan Pilbup atau Pilwalkot, berbagai potensi negatif dari perhelatan demokrasi elektoral juga bisa dikurangi.
Misalnya potensi konflik horisontal dan polarisasi (pembelahan) dalam masyarakat serta rentetan kegaduhannya yang dipicu oleh ketidakpuasan yang berulang atas hasil Pemilu dan Pemilihan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H