Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama I Nominee Kompasiana Award 2024 - Best in Opinion

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Peluang Amicus Curiae Memengaruhi Putusan Mahkamah Konstitusi

13 April 2024   09:36 Diperbarui: 20 April 2024   23:18 491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sehari setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana PHPU Pilpres, 27 Maret lalu, beberapa perwakilan dari 303 Guru Besar dan Masyarakat Sipil mengantarkan dokumen Amicus Curiae kepada Mahkamah Konstitusi. Dokumen ini diajukan dalam kaitannya dengan sidang PHPU Pilpres 2024.

Dokumen amicus breaf setebal 27 halaman itu dirumuskan oleh 5 orang Tim Perumus, yakni : Dr. Benediktus Hestu Cipto Handoyo, S.H., M.Hum; Dr. Dian Agung Wicaksono, S.H., LL.M.; Prof. Dr. Marcus Priyo Gunarto, S.H., M.Hum; Prof. Dr. Dra. Sulistyowati Irianto, M.A.; dan Rimawan Pradiptyo, S.E., M.Sc., Ph.D.

 

Sahabat Pengadilan

Amicus Curiae berasal dari bahasa Latin. Artinya "Sahabat Pengadilan" (Friends of the Court). Istilah ini merujuk pada pihak yang merasa berkepentingan terhadap suatu perkara sehingga memberikan pendapat hukumnya kepada pengadilan. Tetapi keterlibatan pihak yang merasa berkepentingan ini hanya sebatas memberikan opini dan bukan melakukan perlawanan ataupun memaksa hakim. Mereka bisa perorangan, bisa juga kelompok atau organisasi.

Amicus curiae dapat disebut sebagai sebuah mekanisme. Pihak ketiga yang merasa berkepentingan terhadap suatu perkara dapat mengajukan opini hukumnya untuk memperkuat analisa hukum dan menjadi bahan pertimbangan hakim. Opini hukum yang diberikan biasanya mencakup informasi yang terabaikan. Dengan opini tersebut, amicus curiae memberikan perspektif yang lain mengenai kasus yang sedang disidangkan (hukumonline.com, 21 Februari 2011).

Dalam kerangka hukum di Indonesia amicus curiae diatur didalam UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Di Pasal 5 ayat (1) UU ini disebutkan, bahwa "Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat."

Kasus-kasus yang diajukan amicus curiae atau sahabat pengadilan ini biasanya merupakan kasus yang berkenaan dengan isu-isu publik dan menyangkut kepentingan umum seperti hak-hak sipil atau isu-isu strategis lain di bidang politik, HAM, korupsi dll. Dalam konteks inilah, 303 orang Profesor dan perwakilan masyarakat sipil mengajukan isu Pilpres 2024 sebagai obyek amicus curiae kepada Mahkamah Konstitusi (MK).

 

Isu Utama dan Keadilan Substantif  

Dari beberapa sumber yang dapat ditelusuri, didalam berkas amicus brief yang diajukan 303 orang guru besar dan masyarakat sipil tersebut poin ringkasan sebagai isu utama  berkaitan dengan putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang terus menuai kontroversi itu.  Amicus curiae menilai penetapan Calon Wakil Presiden Pasangan Calon Nomor Urut 2, Gibran Rakabuming adalah keliru. Putusan ini salah dimaknai KPU karena merupakan putusan pluralitas.

Putusan pluralitas merupakan putusan yang diambil tanpa adanya suara mayoritas karena terdapatnya perbedaan dalam pertimbangan hukum dan/atau amar putusan. Dalam hal terdapat putusan pluralitas, pendirian Mahkamah Konstitusi harus dilihat dalam pertimbangan hukum dan/atau amar putusan yang disetujui oleh mayoritas hakim dalam lingkup yang paling sempit (the narrowest ground rule).

Dengan mengacu pada aturan tersebut, Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 seharusnya dimaknai bahwa perluasan jabatan yang secara implisit disetujui oleh mayoritas anggota majelis baik pluralitas dan concurring adalah gubernur saja. Dengan kata lain, seharusnya KPU sedari awal tidak menetapkan Calon Wakil Presiden Pasangan Calon Nomor Urut 2 yang ketika tahap pencalonan masih berstatus sebagai walikota.

Mengingat preseden Mahkamah Konstitusi sebelumnya dalam Perkara Nomor 132/PHP.BUP-XIX/2021 dan 135/PHP.BUP-XIX/2021 yang memutus diskualifikasi pasangan calon karena tidak dipenuhinya kualifikasi dalam tahap pencalonan, serta Putusan Nomor 55/PUUXVII/2019 dan Putusan Nomor 85/PUU-XX/2022 yang menegaskan masuknya pemilihan kepala daerah (Pilkada) sebagai bagian dari rezim Pemilu.

"Maka seharusnya Mahkamah Konstitusi dapat mendiskualifikasi Pasangan Calon Nomor Urut 2 sebagai konsekuensi atas tidak terpenuhinya kualifikasi sebagai Calon Wakil Presiden Nomor Urut 2," tulis amicus curiae dalam berkas tersebut.

Kepada media, Prof. Sulistyowati Irianto (Guru Besar FHUI) mengungkapkan harapan para guru besar dan masyarakat sipil yang tergabung dalam amicus curiae agar MK memberikan keadilan substantif dalam memutus perkara PHPU Pilpres. Bukan hanya keadilan prosedural formal atau keadilan angka-angka. Yakni dengan melihat perkara secara holistik, mempertimbangkan aspek proses penyelenggaraan Pilpres secara kritis karena hasil tergantung pada prosesnya.


Potensi Mempengaruhi Putusan  

Amicus Curiae ini penting baik dilihat dari perspektif praktik negara hukum maupun dalam kerangka berdemokrasi. Dalam konteks negara hukum amicus curiae penting sebagai upaya untuk menemukan sekaligus mengartikulasikan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat terkait isu-isu strategis kenegaraan, yang mungkin saja luput dari perhatian para hakim.

Melalui pokok-pokok pikiran hukum yang dituangkan dalam amicus breaf, nilai-nilai dan rasa keadilan publik itu dapat disertakan dalam pertimbangan para hakim ketika membahas dan memutus perkara yang sedang disidangkan.

Sementara itu dilihat dari sisi praktik berdemokrasi, amicus curiae merupakan bentuk partisipasi publik yang bermakna sekaligus berkeadaban (ditempuh melalui koridor dan mekanisme hukum) dalam menyikapi isu-isu strategis kenegaraan. Pokok-pokok pikiran yang diartikulasikan dalam dokumen amicus breaf dapat dianggap merepresentasikan suara-suara publik yang oleh sebab hambatan-hambatan teknis tidak dapat diekspresikan secara efektif.

Lantas bagaimana potensi pengaruh amicus curiae yang diajukan para guru besar dan masyarakat sipil itu terhadap putusan MK terkait perkara PHPU Pilpres 2024? Hemat saya potensi pengaruh ini cukup terbuka, paling tidak khusus terkait isu utama tadi yakni perihal keabsahan pencalonan Gibran sebagai Cawapres yang dinilai tidak memenuhi kualifikasi. Berikut ini argumen yang mendasarinya.

Pertama, amicus curiae diajukan oleh pakar-pakar yang memiliki kompetensi tinggi di bidang hukum (dan politik), para akademisi dengan integritas kecendekiaan yang kredibel, dan secara politik elektoral mereka tidak terafiliasi dengan Paslon Pilpres manapun. Fakta-fakta ini menunjukan tingkat kompetensi kepakaran, derajat integritas sekaligus imparsialitas mereka, yang mestinya dihargai oleh para hakim konstitusi.

Kedua, dinamika persidangan PHPU yang diwarnai secara kental oleh tuntutan agar MK bersikap progresif dengan menggunakan pendekatan kualitatif, yakni proses penyelenggaraan Pilpres, dan tidak berkutat hanya pada angka-angka hasilnya (kuantitaif). Dasar argumennya sangat kokoh. Bahwa hasil (kuantitatif) Pilpres sebagaiman yang ditetapkan KPU tidaklah muncul dari ruang hampa, melainkan dari ruang proses yang sangat besar pengaruhnya terhadap hasil angka-angka. Tuntutan ini mengemuka bukan hanya dari tim hukum Paslon 1 dan 3, melainkan juga berkembang dalam masyarakat luas. Karena itu hemat saya poin ini akan menjadi salah satu yang dipertimbangkan oleh para hakim konstitusi.

Ketiga, sejak putusan Nomor 90 yang kontroversial itu secara moral MK mengalami defisit kepercayaan publik setelah Ketuanya (Anwar Usman) dinyatakan terbukti melanggar etik oleh Majelis Kehormatan MK bahkan hingga dua kali. Dalam konteks ini sangat mungkin para hakim konstitusi sekarang memiliki ghiroh (spirit moral dan nurani) untuk mengembalikan kepercayaan publik itu. Mengabulkan gugatan 01 dan 03 adalah langkah kongkrit untuk mengembalikan kepercayaan dan marwah mahkamah. Seperti ungkapan populer belakangan ini: MK yang memulai, MK juga yang pantas mengakhiri.

Keempat, proses persidangan PHPU Pilpres 2024 ditangani oleh 8 hakim konstitusi (minus Anwar Usman yang dilarang terlibat mengadili berdasarkan putusan MKMK). Tiga diantara mereka (Suhartoyo, Saldi Isra dan Arief Hidayat) memilih dissenting opinion (pendapat berbeda) terkait putusan Nomor 90, dan dua lainnya (Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic Foekh) menyatakan concurring opinion (alasan berbeda). Dua hakim lainnya (Guntur Hamzah dan Ridwan Mansur) menerima, dan satu hakim lagi (Arsul Sani) tidak ikut menangani karena saat itu belum dilantik. Berdasarkan komposisi hakim tersebut peluang amicus curiae memengaruhi, sekurang-kurangnya sebagian dari putusan MK nampaknya cukup terbuka.

Artikel terkait : https://www.kompasiana.com/www.tisna_1965.com/660ae29114709348a9463782/mahkamah-ketika-nurani-menjadi-hakim-bagi-diri-sendiri

Artikel terkait: https://www.kompasiana.com/www.tisna_1965.com/660b498ec57afb0210219132/urgensi-pemanggilan-empat-menteri-oleh-mahkamah-konstitusi

      

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun