Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama I Nominee Kompasiana Award 2024 - Best in Opinion

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Ramadhan Talks (18): "Spiritualitas Mudik", Kembali ke Fitrah Pulang ke Negeri Akhirat

5 April 2024   23:45 Diperbarui: 6 April 2024   06:34 1235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam bahasa Jawa ngoko, kata Mudik berasal dari singkatan "Mulih Dilik", artinya pulang sebentar. Tapi dalam Bahasa Sunda dan Betawi, Mudik berasal dari kata "Udik" (kampung). Bertransformasi menjadi kata kerja dengan imbuhan "me" (Me-udik), lalu diucapkan dengan simpel menjadi "Mudik" (Meng-udik). Artinya menuju atau pulang ke Udik (kampung).   

Para sejarawan meyakini, bahwa Mudik adalah tradisi yang sudah berlangsung lama dalam sejarah masyarakat Indonesia. Lilik Aji Sampurno, dosen Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta misalnya, ia mengungkapkan bahwa kebiasaan mudik sudah ada sejak zaman Majapahit dan Mataram Islam.

Kata "Mudik" sendiri, menurut Ivan Lanin, Direktur Utama Narabahasa, sudah ada sekitar tahun 1390-an. Ditemukan dalam naskah kuno berbahasa Melayu, "Hikayat Raja Pasai" yang bertarikh tahun 1390. Kata "Mudik" dalam naskan ini mengandung arti "pergi ke hulu sungai", yang dianggap identik dengan kampung (Kompas.com, 11/5/2021).

Dalam perspektif sosiol-humanis, para ahli menyebut Mudik sebagai fenomena madness of multiverse, suatu keinginan atau hasrat untuk senantiasa kembali atau pulang ke tanah kelahirannya. Keinginan ini tidak bisa diredam bahkan ketika perkembangan teknologi informasi yang bisa memfasilitas orang untuk saling bertemu secara virtual demikian maju.

Dalam konteks hasrat itu Mudik jadinya tak sekedar pulang kampung. Melainkan pulang dengan mengusung romantisme masa lalu, menghidupkan rindu dan kenangan tentang masa kecil, dan tentu saja bisa bertemu dengan orang-orang (terutama orang tua,  keluarga dan kerabat), tempat-tempat, dan suasana kebathinan darimana seseorang mengawali hidupnya di dunia ini.

Ketika Mudik, setiap orang akan berusaha keras untuk pulang dengan tidak mengecewakan orang-orang yang akan dikunjunginya di kampung, terutama tentu saja orang tua. Untuk itulah maka semua yang bisa membahagiakan orang tua dan keluarga di kampung akan diikhtiarkannya dengan penuh kesungguhan.

Lebaran dan Spiritualitas Mudik

Satu hal yang menarik, Mudik dalam tradisi umat Islam berlangsung dalam momen Idul Fithri atau Lebaran. Seorang perantau bisa pulang setiap bulan atau beberapa bulan sekali dalam satu tahun. Tapi kepulangan di luar momen Idul Fithri adalah kepulangan biasa, bukan Mudik. Padahal substansinya sama, yakni pulang kampung.

Maka entah disadari atau tidak, tetapi pasti bukan suatu kebetulan, bagi umat Islam Mudik kemudian sejatinya memiliki makna (tak kasat mata) yang lebih hakiki dari sekedar pulang kampung dalam pengertian duniawi. Atau setidaknya, Mudik dapat dipandang sebagai simbol atau penanda suatu fenomena ukhrowi, fenomena spiritual. Dalam konteks ini Mudik bukan sekadar peristiwa sosial. Melainkan juga merupakan peristiwa spiritual.

Sebagaimana dimaknai oleh sebagian Ulama, Idul Fithri, selain berarti "Hari Raya berbuka (Ifthaar) Puasa", yakni hari dimana umat Islam kembali berbuka (artinya tidak puasa lagi) setelah selama sebulan berpuasa. Juga mengandung makna "kembali pada (potensi dasar) kesucian (Fitrah)."  

Potensi dasar kesucian itu bisa diraih dan dikembalikan oleh setiap muslim setelah sebulan lamanya melaksanakan ibadah puasa dan amalan-amalan lainnya di sepanjang Ramadhan. Mulai dari Qiyamulail (Tarawih dan Tahajud), Tadarus Al Quran, menunaikan Zakat Fitrah, memperbanyak Sedekah, I'tikaf dan sunnah-sunnah lainnya.

Melalui ibadah puasa dan semua amalan-amalan itu seorang muslim melakukan proses purifikasi atau penyucian diri (tazkiyatu-nafsi). Proses ini dilakukan untuk mengembalikan dirinya pada kondisi suci seperti saat dilahirkan ke dunia. Sebagaimana hadist Nabi SAW: "Kulu mauludin yuuladu 'alal fitroh," Setiap bayi yang dilahirkan dalam keadaan fitrah (HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim).

Kemudian didalam Al Quran surat Al Baqoroh ayat 156 Allah SWT mengajari manusia untuk menyadari dengan sepenuh hati perihal muasal dan tempat kembali manusia melalui teks firmanNya: "...inna lillahi wa inna ilayhi raji'un." 

Meski ayat tersebut lazimnya diucapkan ketika mengalami atau menyaksikan suatu musibah. Namun sejatinya kalimat itu merupakan bentuk totalitas pengakuan dan kesadaran setiap manusia, bahwa semua yang dimiliki termasuk dirinya adalah milik Allah dan pasti akan kembali kepadaNya.

Dalam perspektif tasawuf, setiap manusia sesungguhnya adalah salik. Yakni orang yang sedang menempuh perjalanan (suluk) dan menapaki rute untuk kembali kepada Allah, Sang Adikodrati.

Dalam kerangka refleksi spiritualitas itulah fenomena madness of multiverse merupakan kesadaran yang Allah hidupkan dalam jiwa setiap manusia bersamaan dengan narasi totalitas pengakuan dan kesadaran bahwa kepulangan kepadaNya, Mudik ke negeri akhirat, bukanlah sekedar hasrat atau keinginan. Melainkan suatu keniscayaan.

Dan jika Mudik ke kampung halaman saja setiap pemudik ingin membawa apapun, materi maupun non-materi agar dapat menyenangkan orang-orang yang dikunjungi di kampung. Maka Mudik sejati, pulang ke negeri akhirat, sudah semestinya setiap orang membawa segala amalan baik agar Allah SWT, sang Maha Pemilik Semesta, berkenan (ridho) menerima kepulangan kita kelak. Wallahu'alam Bishowab.

Artikel terkait : https://www.kompasiana.com/www.tisna_1965.com/660ed94cc57afb33d0694ca2/ramadhan-talks-17-tadarus-al-quran-tradisi-rosulullah-bersama-malaikat-jibril

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun