Dalam bahasa Jawa ngoko, kata Mudik berasal dari singkatan "Mulih Dilik", artinya pulang sebentar. Tapi dalam Bahasa Sunda dan Betawi, Mudik berasal dari kata "Udik" (kampung). Bertransformasi menjadi kata kerja dengan imbuhan "me" (Me-udik), lalu diucapkan dengan simpel menjadi "Mudik" (Meng-udik). Artinya menuju atau pulang ke Udik (kampung). Â Â
Para sejarawan meyakini, bahwa Mudik adalah tradisi yang sudah berlangsung lama dalam sejarah masyarakat Indonesia. Lilik Aji Sampurno, dosen Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta misalnya, ia mengungkapkan bahwa kebiasaan mudik sudah ada sejak zaman Majapahit dan Mataram Islam.
Kata "Mudik" sendiri, menurut Ivan Lanin, Direktur Utama Narabahasa, sudah ada sekitar tahun 1390-an. Ditemukan dalam naskah kuno berbahasa Melayu, "Hikayat Raja Pasai" yang bertarikh tahun 1390. Kata "Mudik" dalam naskan ini mengandung arti "pergi ke hulu sungai", yang dianggap identik dengan kampung (Kompas.com, 11/5/2021).
Dalam perspektif sosiol-humanis, para ahli menyebut Mudik sebagai fenomena madness of multiverse, suatu keinginan atau hasrat untuk senantiasa kembali atau pulang ke tanah kelahirannya. Keinginan ini tidak bisa diredam bahkan ketika perkembangan teknologi informasi yang bisa memfasilitas orang untuk saling bertemu secara virtual demikian maju.
Dalam konteks hasrat itu Mudik jadinya tak sekedar pulang kampung. Melainkan pulang dengan mengusung romantisme masa lalu, menghidupkan rindu dan kenangan tentang masa kecil, dan tentu saja bisa bertemu dengan orang-orang (terutama orang tua, Â keluarga dan kerabat), tempat-tempat, dan suasana kebathinan darimana seseorang mengawali hidupnya di dunia ini.
Ketika Mudik, setiap orang akan berusaha keras untuk pulang dengan tidak mengecewakan orang-orang yang akan dikunjunginya di kampung, terutama tentu saja orang tua. Untuk itulah maka semua yang bisa membahagiakan orang tua dan keluarga di kampung akan diikhtiarkannya dengan penuh kesungguhan.
Lebaran dan Spiritualitas Mudik
Satu hal yang menarik, Mudik dalam tradisi umat Islam berlangsung dalam momen Idul Fithri atau Lebaran. Seorang perantau bisa pulang setiap bulan atau beberapa bulan sekali dalam satu tahun. Tapi kepulangan di luar momen Idul Fithri adalah kepulangan biasa, bukan Mudik. Padahal substansinya sama, yakni pulang kampung.
Maka entah disadari atau tidak, tetapi pasti bukan suatu kebetulan, bagi umat Islam Mudik kemudian sejatinya memiliki makna (tak kasat mata) yang lebih hakiki dari sekedar pulang kampung dalam pengertian duniawi. Atau setidaknya, Mudik dapat dipandang sebagai simbol atau penanda suatu fenomena ukhrowi, fenomena spiritual. Dalam konteks ini Mudik bukan sekadar peristiwa sosial. Melainkan juga merupakan peristiwa spiritual.
Sebagaimana dimaknai oleh sebagian Ulama, Idul Fithri, selain berarti "Hari Raya berbuka (Ifthaar) Puasa", yakni hari dimana umat Islam kembali berbuka (artinya tidak puasa lagi) setelah selama sebulan berpuasa. Juga mengandung makna "kembali pada (potensi dasar) kesucian (Fitrah)." Â