Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

"Mahkamah", Ketika Nurani Menjadi Hakim bagi Diri Sendiri

1 April 2024   23:45 Diperbarui: 3 April 2024   08:08 726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Mahkamah Konstitusi (MK) saat ini, delapan orang hakim konstitusi sedang mengadili perkara besar kenegaraan: Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU). Dalam beberapa hari kedepan, sesuai perintah undang-undang mereka wajib mengambil keputusan. Berhadapan dengan mereka, puluhan pengacara saling berdebat adu argumen, mengajukan dalil dan bukti serta puluhan saksi. Sama-sama kuat dan meyakinkan hingga membuat para hakim sulit menemukan kata sepakat.

Deadlock. Proses pengadilan akhirnya menemui jalan buntu. Satu persatu kedelapan hakim itu kemudian mundur dari ruang sidang dan menyatakan berhenti sebagai hakim lantaran tidak sanggup mengambil keputusan yang mereka yakini sebagai keputusan yang adil.

Serupa itulah apa yang diceritakan dalam "Mahkamah, Sebuah Pengadilan Hati Nurani". Tayangan sinetron jadul karya Asrul Sani, salah seorang sastrawan, penulis naskah drama dan skenario sekaligus sineas papan atas di zamannya. Tayang, seingat saya dua kali (tahun 1984 dan 1985) di kanal stasiun TVRI. Beberapa tahun kemudian Mahkamah digelar dalam bentuk drama teater di Gedung Kesenian Jakarta. Dan tahun 2007 silam kembali dipentaskan di Graha Bhakti Budaya TIM dengan sutrada Yose Rizal Manua.

Serupa dalam pengertian bahwa setiap orang yang berperkara (perinsipal, pengacara dan hakim) bisa membangun argumen dan menyodorkan bukti-bukti untuk mendukung sikapnya. Tetapi sama sekali bukanlah jaminan bahwa semua argumen dan bukti-bukti itu adalah kebenaran hakiki, dari pihak manapun. "Mahkamah" memberikan satu perspektif tentang kebenaran hakiki: suara hati nurani.   

Sinopsis

"Mahkamah" mengisahkan seorang purnawirawan tentara di era revolusi berpangkat Mayor, Saiful Bahri yang sedang menghadapi sakratul maut. Ditemani istri setianya, Murni (diperankan oleh Mutiara Sani) sang Mayor menghadapi sakratul maut dalam situasi gelisah tiada tara.  

Pangkal kegelisahan Bahri adalah sebuah peristiwa yang tidak pernah dikehendakinya tetapi kemudian terjadi. Ia menembak dengan tangannya sendiri, seorang anak buahnya, Kapten Anwar yang dianggap mengkhianati negara lantaran menolak perintahnya untuk menumpas pemberontakan komunis di Madiun tahun 1948.

Sang Mayor gelisah karena di sisi peristiwa hukuman tembak mati terhadap Kapten Anwar yang sempat ia yakini sebagai tindakan patriotik itu, menjelang kematiannya tetiba saja muncul kisah lain yang menyertai. Ia dan Anwar bersaing merebut hati dan cinta Murni.

Di hadapan sakratul maut, Bahri menjadi ragu apakah ia seorang patriotik atau tak lebih dari seorang laki-laki yang sedang bersaing memperebutkan gadis jelita, lalu muncul kesempatan menghabisi pesaingnya di balik tuduhan pengkhianatan itu.   

Untuk memutuskan status dan kegelisahannya kini di hadapan Bahri digelar mahkamah pengadilan dengan tiga orang hakim. Hakim pertama adalah guru ngajinya saat Bahri kecil. Hakim kedua seorang penulis, yang telah membukukan biografi Bahri sebagai seorang patriot pembela negara. Dan hakim ketiga adalah atasannya dulu, berpangkat Letnan Kolonen, yang berarti juga atasannya Anwar.

Proses pengadilan berlangsung alot karena Bahri berhasil menjawab setiap pertanyaan dan mementahkan tuduhan-tuduhan para hakim kepadanya. Ketiga hakim itu berbeda pendapat tentang "benar" dan "salah" dalam kasus Kapten Anwar yang ditembak mati itu.

Seperti disinggung di depan tadi, proses pengadilan menemui jalan buntu karena ketiga hakim gagal mencapai kata sepakat dan mengambil keputusan. Satu persatu mereka mundur. Sebuah mahkamah pengadilan baru harus digelar dengan hakim tunggal untuk mengadili Bahri.

Pada hari yang sudah ditentukan, Bahri duduk di kursi terdakwa. Pintu ruang sidang terbuka, dan masuklah seorang berbadan tegap, langkah sigap dan duduk di kursi hakim. Layaknya disambar petir di siang bolong, Bahri sontak terkejut: Sang Hakim baru yang akan mengadilinya itu tidak lain adalah dirinya sendiri!

www.dialeksis.com
www.dialeksis.com

Pesan Mahkamah

Melalui Mahkamah, Asrul Sani mengingatkan bahwa setiap orang sejatinya akan menghadapi dirinya sendiri, hati nuraninya sendiri sebagai hakim pengadil yang tidak mungkin dikelabui dalam setiap perkara atau perbuatan yang dilakukannya.

Di hadapan nuraninya sendiri, Bahri yang ketika diadili oleh ketiga hakim sebelumnya dengan piawai menjawab semua pertanyaan dan mementahkan segala tuduhan, jelas tidak mampu melakukannya lagi.

Situasi yang sama akan dialami oleh siapapun ketika harus berhadapan dengan hakim pengadil yang tidak lain adalah hati nuraninya sendidi. Nurani tidak bisa manipulasi.   

Dari keseluruhan struktur ceritanya, tayangan sinetron jadul Mahkamah ini, sekurang-kurangnya ada dua pesan penting yang bisa ditadaburi, direnungkan.

Pertama, bahwa setiap tindakan atau perbuatan hendaknya dilakukan dengan pertimbangan yang benar-benar matang. Jika dihadapkan pada situasi dilematik, apalagi terdapat nuansa conflict of interest di dalamnya maka hati nurani adalah pihak yang harus menjadi rujukan akhir.

Kedua, penting untuk selalu disadari bahwa setiap perbuatan pada akhirnya akan dituntut pertanggungjawabannya, di pengadilan (dunia) ini atau di mahkamah (akhirat) kelak.

Ketiga, hidup ini sementara, hanya sebuah persinggahan. Demikian halnya dengan jabatan, kekuasaan dan kewenangan. Menggunakan kekuasaan dan kewenangan dengan benar dan adil adalah pilihan bijak yang harus diambil agar tak menyesal di kemudian hari, di hadapan sakratul maut seperti dialami Bahri atau kelak di akhirat, di hadapan Sang Maha Pengadil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun