Jika tidak ada halangan, Pemerintah mengagendakan pelaksanaan Sidang Isbat awal Ramadan akan digelar hari Minggu, 10 Maret 2024 di kantor Kementerian Agama di Jakarta. Sidang Isbat adalah sidang atau permusyawaratan yang diadakan untuk menentukan atau menetapkan awal bulan dalam kalender Hijriyah. Sidang Isbat diikuti oleh perwakilan Ormas Islam, para Ulama ahli Falaq (Hisab dan Rukyat), serta pakar Astronomi.
Hasil kesepakatan Sidang Isbat tersebut akan digunakan oleh Pemerintah sebagai dasar penetapan awal Ramadan sekaligus hari pertama ibadah shaum (puasa) yang akan dilaksanakan oleh umat Islam.
Jika merujuk pada kalender Hijriah Indonesia 2024 yang diterbitkan Kementerian Agama, awal Ramadhan 2024 versi pemerintah (dan biasanya sama dengan versi Nahdlatul Ulama) jatuh pada hari Selasa, 12 Maret 2024. Sementara itu, Muhammadiyah sebagai Ormas terbesar kedua setelah NU telah menetapkan awal Ramadan jatuh pada hari Senin, 11 Maret 2024. Â
Apakah nantinya, seperti tahun lalu, hari pertama puasa akan kembali berbeda antara Pemerihtah-NU dengan Muhammadiyah, Sidang Isbat itu yang akan memutuskan. Harapan kita tentu seragam. Tetapi kalaupun berbeda tentu tidak perlu dipermasalahkan. "Ikhtilafu Ummati Rahmatun". Perbedaan yang ada pada umatku adalah rahmat. Demikian sabda Kangjeng Nabi Muhammad SAW.
Sambil menunggu Sidang Isbat digelar dan memanfaatkan sisa waktu yang tersedia sebelum Ramadan datang, penting bagi umat Islam untuk melakukan persiapan-persiapan yang dibutuhkan agar Ramadan nanti dapat dijalani dengan benar dan maksimal. Salah satu persiapan paling penting adalah menyegarkan kembali pemahaman seputar Syariat dan Fiqih puasa.
Amal tanpa IlmuÂ
Mengapa penting memahami Syariat dan Fiqih puasa? Karena ibadah, termasuk ibadah puasa, tanpa disertai dengan pengetahuan yang memadai tentang ilmunya akan sia-sia dan tidak akan diterima oleh Allah SWT.
Di dalam salah satu kitabnya Minhajul Abidin, Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa amalan tanpa ilmu adalah sebuah kerugian yang nyata. Sementara Imam Ahmad Ibnu Ruslan Asy Syafi'iy di dalam karyanya, Matan Zubad Fi Ilmil Fiqhi, memfatwakan, "Wa Kullu Man Bighairi Ilmin Ya'malu A'maluhu Mardudatun Latuqbalu." Artinya barang siapa yang beramal tanpa ilmu maka amalnya akan ditolak.
Pendapat para Ulama itu disandarkan pada firman Allah di dalam Al Quran, antara lain Surat Al Isra ayat 36 :
"Janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak engkau ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya."Â
Para Ulama menafsirkan ayat tersebut sebagai larangan melakukan ibadah dan mengamalkan agama pada umumnya tanpa disertai ilmu sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Diantara ulama tafsir itu adalah Ahmad Mustafa Al-Maraghi dalam Tafsi Al Maraghi, Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir, dan Buya Hamka dalam Tafsir Al Azhar.
Syariat dan Fiqih PuasaÂ
Sebagaimana berbagai amalan ibadah atau praktik keagamaan dalam Islam, ibadah puasa memiliki landasan Syariat dan Fiqih. Syariat adalah hukum Islam yang bersumber dari Al Quran dan Sunnah (ucapan, perbuatan dan ketetapan) Nabi Muhammad SAW. Sebagian Ulama memasukan juga Ijma Sahabat kedalam kategori Syariat, misalnya Ibnu Hazm, penulis kitab Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam. Â
Sedangkan Fiqih adalah hukum Islam yang bersumber pada pemahaman para Ulama terhadap nash Al Quran dan Sunnah. Dengan demikian Fiqih merupakan produk ijtihadi para Mujtahid, dan karenanya bisa berbeda antara satu Ulama dengan Ulama lainnya dalam menghukumi suatu perkara atau amalan keagamaan.
Dalam konteks puasa Ramadan, yang menjadi ranah Syariat adalah dasar hukum menjalankan ibadah puasa dan berbagai amalan lainnya di bulan Ramadan yang sumbernya berasal langsung dari Al Quran dan Sunnah. Sedangkan tatacara dan detail pelaksanaannya termasuk dalam domain Fiqih.
Contoh yang paling mudah adalah Sholat Tarawih. Secara Syariat, hukum Tarawih adalah sunah muakkadah. Yakni sunah yang sangat ditekankan untuk dikerjakan dan mendapat imbalan pahala, namun tidak mengakibatkan dosa jika ditinggalkan karena alasan syar'i. Tetapi jumlah raka'at Tarawih berbeda-beda antara satu mazhab fiqih dengan mazhab fiqih lainnya. Secara lebih detail tema ini akan diulas pada artikel lain nanti.
Hukum Puasa Ramadan
Dasar hukum kewajiban puasa pada bulan Ramadan termaktub di dalam Al Quran surat Al Baqarah ayat 183:Â "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."Â
Selain itu hukum wajib puasa juga didasarkan pada Hadits Nabi yang diriwayatkan Imam Bukhori dan Imam Muslim, bahwa "Islam dibangun di atas lima dasar, yakni bersaksi bahwa tidak ada tuhan melainkan Allah; mendirikan shalat; menunaikan zakat; mengerjakan haji; dan berpuasa pada bulan Ramadhan."
Tetapi penting diketahui, bahwa kewajiban tersebut berlaku bagi setiap Muslim dan Muslimah yang Mukallaf. Yakni orang yang sudah memenuhi kriteria dasar untuk melaksanakan hukum-hukum Islam, yakni Muslim/Muslimah, Akil Baligh, dan Berakal Sehat.
Menurut para Ulama fiqih, baligh bagi perempuan ketika berusia 9 tahun dengan disertai tanda keluarnya darah haid. Sedangkan bagi laki-laki 12 belas tahun disertai dengan keluarnya sperma melalui mimpi. Atau, maksimal berumur 15 tahun baik perempuan maupun laki-laki ketika syarat keluarnya darah haid perempuan dan keluarnya sperma laki-laki melalui mimpi belum terpenuhi.
Dengan demikian, bagi anak-anak dibawah usia 9 tahun perempuan dan 12 tahun laki-laki, puasa belum diwajibkan. Pun demikian halnya bagi orang yang sedang terganggu akal sehatnya atau Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Tentu saja, untuk keperluan edukasi dan pembiasaan, sangat bagus jika anak-anak yang belum akil baligh tetap diajak melaksanakan puasa bersama keluarga.
Dispensasi Puasa
Dalam situasi atau kondisi tertentu seorang Muslim/Muslimah diizinkan untuk tidak melaksanakan puasa dengan beberapa catatan. Dalam ilmu fiqih hal ini disebut Rukhshah, keringanan atau dispensasi. Menurut para Ulama fiqih, Rukhshah ini diberikan kepada setiap Muslim/Muslimah dalam keadaan-keadaan meliputi :
Pertama, orang yang sedang sakit, yang penyakitnya dapat membahayakan jiwanya jika berpuasa. Ia boleh meninggalkan puasa namun harus menggantinya (Qodlo) ketika sudah kembali sehat pada hari yang lain di luar Ramadan.
Kedua, orang yang sakit menahun dan orang yang sudah sangat renta, yang mengakibatkan hilangnya kemampuan melaksanakan puasa secara permanen. Ia boleh meninggalkan puasa dengan catatan harus menggantinya dengan membayar Fidyah. Rukhshah ini juga berlaku bagi perempuan yang sedang hamil dan menyusui.
Ketiga, orang yang sedang dalam bepergian atau Musafir (dan tidak dalam rangka maksiat) dengan catatan kelak wajib menggantinya (Qodlo) pada hari yang lain.
Beberapa dalil Syar'i terkait Rukhshah ini antara lain sebagai berikut :
Al Quran surat Al Baqoroh ayat 184: "...Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain, dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin..."
Hadits Nabi SAW: "Sungguh Allah Yang Maha Perkasa dan Maha Mulia telah membebaskan puasa dan separo shalat bagi orang yang bepergian, dan membebaskan pula dari puasa orang hamil dan orang yang menyusui." (HR. Al-Khamsah).
Terakhir, sebagian Ulama juga ada yang berpendapat bahwa Rukhshah meninggalkan puasa berlaku bagi orang-orang yang melakukan pekerjaan-pekerjaan dengan beban sangat berat; serta orang-orang dalam kondisi lapar dan haus yang sangat parah yang bisa mengakibatkan kematian. Mereka boleh berbuka tetapi dengan catatan wajib mengqodlonya di hari lain sesuai bilangan hari puasa yang ditinggalkannya. Â
Artikel Ramadan lainnya :Â https://www.kompasiana.com/www.tisna_1965.com/65e4add814709376135cd8b2/menyambut-ramadan-bulan-yang-diberkahi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H