Di era orde baru oposisi dimatikan sejak kebijakan fusi partai politik tahun 1973, akibatnya Soeharto berkuasa nyaris tanpa kontrol sepanjang kurang lebih 30 tahun.
Dalam satu dekade terakhir, oposisi memang hadir di parlemen tetapi kekuatannya terlalu kecil dan sangat rapuh.
Karena pasca Pemilu 2014 dan 2019 silam hampir semua partai politik akhirnya bergabung dalam koalisi pemerintahan, dan hanya menyisakan satu dua partai yang tidak memiliki suara dengan kekuatan yang signifikan di parlemen.
Dampaknya banyak kebijakan pemerintah yang lahir tanpa melalui proses politik diskursif sekaligus kontrol yang memadai. Â Â
Argumen Moral Keniscayaan
Sekali lagi, kehadiran oposisi dalam sistem politik dan pemerintahan demokratik adalah conditio sine qua non. Sesuatu yang niscaya alias wajib.
Di kelas kuliah saya biasa menggunakan frasa "syarat syar'i" dalam konteks pelaksanaan ibadah mahdoh umat Islam serupa Sholat misalnya.Â
Keberadaan oposisi itu setara dengan Wudlu atau Tayamum untuk Sholat bagi umat Islam. Tanpa wudhu atau tayamum sholat tidak bisa dilakukan. Tanpa oposisi, demokrasi hanyalah praktik pseudo kedaulatan rakyat.
Secara moral atau etik (politik), setidaknya ada empat argumen dasar dibalik premis bahwa oposisi adalah keniscayaan, kewajiban yang tidak bisa dihindari dalam sistem politik dan pemerintahan demokratik modern.
Pertama, pasca era kenabian  (agama Samawi manapun) yang sakral atau tradisi theokratik tidak ada lagi manusia suci dan ma'shum. Setiap orang bisa salah, termasuk para pemimpin yang dipilih dan diberi amanah oleh mayoritas rakyat sekalipun.
Dalam konteks ini, oposisi hadir untuk mengingatkan kemungkinan salah pikir, keliru sikap, dan sesat kebijakan dari para pemimpin. Dalam ungkapan yang lazim digunakan kalangan peminat diskursus kepolitikan kaum oposisi dikatakan sebagai watchdogs, "anjing penjaga".Â