Kendati hasil Pemilu belum ditetapkan dan pemerintahan baru belum terbentuk, masyarakat khususnya yang memahami isu-isu politik pemerintahan mulai ramai membicarakan soal oposisi.
Ini lumrah dan bagus. Pantas diapresiasi dengan saling memberikan respon dan support yang positif.
Conditio Sine Qua Non
Ada dua alasan mengapa isu mengenai oposisi ini penting didiskusikan, mengapa keberadaan oposisi penting dalam sistem politik demokrasi.
Pertama, dalam tradisi demokrasi keberadaan oposisi adalah suatu keniscayaan. Conditio sine qua non. Demokrasi mustahil bisa berkembang dengan baik sebagaimana diyakini banyak orang sebagai cara politik terbaik untuk mengelola kekuasaan dan menata kehidupan masyarakat dan negara tanpa kehadiran oposisi.
Sesuai kultur, istilah atau termnya mungkin dan boleh saja berbeda. "Penyeimbang" misalnya. Tetapi substansinya sama, bahwa oposisi adalah eksponen yang mewakili sebagian masyarakat terutama di dalam parlemen yang berfungsi sebagai pengontrol atau penyeimbang bagi kelompok yang diberikan amanah menjalankan kekuasaan pemerintahan negara.
Dalam pengertian yang lebih luas, oposisi juga bisa dilakukan oleh elemen-elemen civil society di luar parlemen.
Dalam perspektif David Easton atau Gabriel Almond, elemen-elemen ini merupakan energi yang menghidupkan sistem politik.
Proses-proses dialektik dan politik diskursif yang efektif (dan tentu saja berkeadaban) antara pemegang amanah kekuasaan dan pengontrol kekuasaan akan menghasilkan pilihan-pilihan kebijakan yang memihak pada kepentingan bersama.
Kedua, Indonesia memiliki pengalaman buruk dengan ketidakhadiran kelompok oposisi, atau "hadir tapi tidak berdaya, terlalu lemah" dalam kehidupan politiknya selama ini.
Di era orde baru oposisi dimatikan sejak kebijakan fusi partai politik tahun 1973, akibatnya Soeharto berkuasa nyaris tanpa kontrol sepanjang kurang lebih 30 tahun.
Dalam satu dekade terakhir, oposisi memang hadir di parlemen tetapi kekuatannya terlalu kecil dan sangat rapuh.
Karena pasca Pemilu 2014 dan 2019 silam hampir semua partai politik akhirnya bergabung dalam koalisi pemerintahan, dan hanya menyisakan satu dua partai yang tidak memiliki suara dengan kekuatan yang signifikan di parlemen.
Dampaknya banyak kebijakan pemerintah yang lahir tanpa melalui proses politik diskursif sekaligus kontrol yang memadai. Â Â
Argumen Moral KeniscayaanSekali lagi, kehadiran oposisi dalam sistem politik dan pemerintahan demokratik adalah conditio sine qua non. Sesuatu yang niscaya alias wajib.
Di kelas kuliah saya biasa menggunakan frasa "syarat syar'i" dalam konteks pelaksanaan ibadah mahdoh umat Islam serupa Sholat misalnya.Â
Keberadaan oposisi itu setara dengan Wudlu atau Tayamum untuk Sholat bagi umat Islam. Tanpa wudhu atau tayamum sholat tidak bisa dilakukan. Tanpa oposisi, demokrasi hanyalah praktik pseudo kedaulatan rakyat.
Secara moral atau etik (politik), setidaknya ada empat argumen dasar dibalik premis bahwa oposisi adalah keniscayaan, kewajiban yang tidak bisa dihindari dalam sistem politik dan pemerintahan demokratik modern.
Pertama, pasca era kenabian  (agama Samawi manapun) yang sakral atau tradisi theokratik tidak ada lagi manusia suci dan ma'shum. Setiap orang bisa salah, termasuk para pemimpin yang dipilih dan diberi amanah oleh mayoritas rakyat sekalipun.
Dalam konteks ini, oposisi hadir untuk mengingatkan kemungkinan salah pikir, keliru sikap, dan sesat kebijakan dari para pemimpin. Dalam ungkapan yang lazim digunakan kalangan peminat diskursus kepolitikan kaum oposisi dikatakan sebagai watchdogs, "anjing penjaga".Â
Fungsinya adalah menyalak sebagai peringatan, dan menjaga agar operasi kekuasaan dan jalannya pemerintahan tidak melenceng dari track yang seharusnya dilalui, track yang disepakati bersama. Track itu ada pada norma-norma konstitusi, hukum dan perundang-undangan.
Kedua, meminjam dalil klasik Lord Acton, power tend to corruptc, and absolute power corrupts absolutely.
Dalam konteks ini oposisi hadir untuk mengontrol naluri purba kekuasaan yang egois sekaligus mengawasi operasi kekuasaan yang cenderung korup di tangan penguasa manapun.
Karenanya dalam sebuah metafor, kaum oposisi lazim disebut sebagai "advocatus diabolli", "setan yang menyelamatkan".
Kerjanya memang "mengganggu" (penguasa) layaknya setan. Namun "gangguan" itu sesungguhnya dilakukan demi kebaikan bersama, untuk menyelamatkan kehidupan bersama dari kemungkinan salah dalam mengambil pilihan arah dan jalan berbangsa dan bernegara.
Ketiga, merujuk pada doktrin trias politika Montesquieu, demokrasi membutuhkan mekanisme check and balances antar cabang kekuasaan negara (utamanya antara legislatif dan eksekutif).
Dalam konteks ini oposisi di parlemen (maupun di luar parlemen) berperan untuk memastikan bahwa pemerintah yang juga didukung oleh sebagian (tentu mayoritas) koalisinya di parlemen tidak semena-mena saat merancang dan memproduk kebijakan-kebijakan politik. Â
Fungsi dan peran itu penting karena fakta elektoral, bahwa di sisi konstituen pendukung pemerintah yang memenangi perhelatan pemilu, masih terdapat konstituen yang berbeda sikap dan dukungan.
Tradisi demokrasi wajib menjamin kelompok minoritas, setidaknya untuk tetap didengarkan suaranya melalui kelompok oposisi yang secara faktual menerima mandat dari minoritas politik itu.
Selain itu, mekanisme check and balances juga perlu dihidupkan untuk memastikan agar kedua cabang kekuasaan (legislatif dan eksekutif) selalu berada pada titik yang relatif seimbang.
Eksekutif tidak boleh terlalu kuat (heavy executive) karena bisa melahirkan rezim otoriter dan praktik otoritarianisme.
Sebaliknya, legislatif (parlemen) juga tidak boleh terlalu kuat karena bisa memicu instabilitas politik dan pemerintahan.
Keempat, demokrasi sesungguhnya digagas sebagai jalan untuk mewujudkan kebaikan bersama dari waktu ke waktu secara berkesinambungan.
Dalam perspektif  dialektika dan politik diskursif, kebaikan bersama adalah tahap yang takkan pernah selesai untuk terus diikhtiarkan.Â
Peran oposisi dalam kerangka ini adalah membawa dan menghadirkan antitesis-antitesis pemikiran, gagasan, aspirasi dan kehendak konstituen minoritas secara terus-menerus dalam setiap rancangan kebijakan pemerintah.
Dengan cara dialektik dan politik diskursif ini terbuka peluang setiap rancangan kebijakan pemerintah menjadi lebih baik karena ia dikawal dengan kritis.
Jadi, tidak seperti yang dibayangkan banyak orang bahwa kiprah kaum oposisi hanyalah untuk  mendegradasi kebaikan-kebaikan pemerintah lalu menjatuhkannya.Â
Melainkan justru (secara tidak langsung) dapat memperkuatnya melalui produk-produk kebijakan politik yang dianggap baik oleh konstituen minoritas di belakang kaum oposisi di parlemen.Â
Berdasarkan uraian diatas, keberadaan kelompok oposisi baik di parlemen maupun non-parlemen (masyarakat sipil, para akademisi, tokoh masyarakat dll) sesungguhnya adalah mulia dan terhormat
Karena peran-peran fungsional mereka adalah menjaga, mengingatkan dan membentengi agar para penguasa tidak terjerumus kedalam sesat pikir, sesat arah dan sesat jalan dalam mengoperasikan kekuasaan negara.
Selain itu, melalui tradisi dialektik dan politik diskursif yang cerdas dan ikhlas (semata-mata untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara) kelompok oposisi juga memberi kontribusi positif pada setiap rancangan kebijakan dan program-program pemerintah berupa gagasan dan pemikiran-pemikiran visioner mereka.
Pemerintah yang dalam periode tertentu mendapat amanah rakyat untuk berkuasa, pun barisan koalisi dan para pendukungnya, harus selalu menyadari bahwa tidak ada pemimpin yang sempurna. Nah, ketidaksempurnaan itu bisa dilengkapi dengan peran-peran kelompok oposisi yang kritis namun tetap loyal pada negara dan bangsa. Â Â Â
Artikel politik lainnya: Hak Angket: Membersihkan Pemilu, Menguji Kepatuhan Para Pihak Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H