Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

AHY dan Watak Pragmatis Elit Politik

23 Februari 2024   18:00 Diperbarui: 23 Februari 2024   18:02 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam kepolitikan Indonesia adagium politik "tidak ada lawan dan kawan yang abadi dalam politik, yang abadi adalah kepentingan" telah lama mencapai maqom mendekati sempurna. Selain karena kasus-kasus "pertukaran posisi" dari lawan menjadi kawan atau sebaliknya yang melimpah, gejala ini juga disertai dengan aura bahagia tiada tara dari aktor-aktor yang memperoleh cipratan kekuasaan.

Tidak sedikitpun kelihatan rasa jengah, malu, gak enak hati, apalagi ragu dari wajah mereka ketika lawan politik yang sebelumnya mereka hajar, mereka gugat, mereka hujat habisa-habisan tetiba merangkulnya mesra lalu memberinya jabatan. Benar-benar sempurna sebagai sebuah sikap dan watak. Idealisme yang nampak mendasari sikap kritis mereka sebelumnya terhadap kekuasaan serta merta pupus dan berubah kelamin menjadi pragmatisme.  

Itulah yang kemarin berlangsung di istana, ketika AHY dilantik menjadi Meneri ATR oleh Presiden Jokowi. Tampil gagah dan anggun, riang gembira bersama keluarganya. Lalu, bak aliran setrum, keriangan ini juga mengalir ke kader-kadernya di bawah, mengalirkan daya kejut suka-cita dan kebahagiaan.

Di Banten misalnya. Melalui akun instagramnya, Iti Octavia Jayabaya, Ketua DPD Partai Demokrat Banten sekaligus mantan Bupati Lebak dua periode mengunggah kebahagiaan itu. "Selamat dan Sukses atas dilantiknya Bapak Agus Harimurti Yudhoyono". Unggahan ini disertai dengan caption: "Setia, Jujur dan Taqwa...Jika sudah waktunya, hujan akan turun. Jika sudah masanya bunga akan mekar..." So sweet.

Ketahuliah, Iti Octavia Jayabaya ini adalah orang yang pernah mengancam Moeldoko, Kepala KSP dengan kiriman santet. Peristiwanya terjadi pada bulan Maret 2021 saat Moeldoko dianggap mau mengkudeta kepemimpinan AHY di Partai Demokrat.

"Kalau pun kami harus turun berdemo, kami siap. Santet Banten akan dikirim untuk KSP Moeldoko," ujar Octavia di tengah acara Commander's Call, agenda rapat dan pertemuan antara Ketum AHY dan perwakilan DPD seluruh Indonesia (SindoNews.Com, 9 Maret 2021).

Meski tidak hadir di acara pelantikan karena sedang bertugas di Sri Lanka, melalui akun instagramnya kemarin Moeldoko memberikan ucapan selamat kepada AHY.

"Saya ucapkan juga selamat kepada pak@hadi.tjahjanto dan mas@agusyudhoyono yang telah dilantik oleh presiden@jokowi menjadi Menteri Kabinet Indonesia Maju. Mohon maaf saya tidak bisa menghadiri pelantikan" (CNN, 21 Februari 2024).

Sekarang AHY dan Meoldoko tentu akan sering bertemu, kordinasi dan bersinergi sebagai sesama pembantu Presiden. Dalam konteks perseteruan politik AHY vs Moeldoko dulu itu Presiden Jokowi tampil sebagai the real master. Cukup dengan satu jurus hentakan dua musuh yang pernah bikin heboh jagat politik nasional dipersatukan dalam barisan yang sama: kepentingan pragmatis.

 

AHY Bukan yang Pertama

AHY tentu saja tidak sendiri, dan bukan yang pertama. Ada Prabowo yang lebih dulu mengawali. Pasca kekalahannya yang kedua di Pemilu 2019 silam Prabowo kemudian masuk kabinet Jokowi. Setahun lebih kemudian Sandiaga Uno juga menyusul masuk kabinet. Dan terakhir sebelum masuk tahapan Pemilu 2024, Zulkifli Hasan, Ketua Umum PAN akhirnya juga landing di istana.

Prabowo dan Sandiaga adalah rival Jokowi-Ma'ruf dalam Pilpres 2019, sementara Zulhas adalah salah satu eksponen pendukung Prabowo-Sandiaga yang sempat bertekad siap menjadi oposisi bersama Demokrat dan PKS.

Menjadi oposisi rupanya dirasakan bukan pekerjaan mulia. Bakti pada negara dan kontribusi pada bangsa harus dimaknai dengan cara menjadi bagian dari pemerintah. Atau, yang terjadi sebetulnya adalah bahwa menjadi oposisi tidak mendapatkan berkah kekuasaan. Setidaknya seperti ungkapan dengan jujur oleh Prabowo, bahwa banyak asetnya yang mandek, tidak dapat kredit karena tidak berkuasa 20 tahun," (Viva.co.id, 20 September 2023).

Tapi watak pragmatis yang paling spektakuler dari fenomena "lawan menjadi kawan" ini adalah Ali Mochtar Ngabalin dan Fahri Hamzah. Ngabalin adalah Jubir Pasangan Prabowo-Hatta Rajasa di Pemilu 2014, Fahri mantan kader PKS yang juga pendukung Prabowo baik di Pemilu 2014 maupun Pemilu 2019. Keduanya adalah pengkritik paling tajam dan (terkadang) kasar bagi Jokowi dan pemerintahannya.

Bedanya Ngabalin jauh lebih dulu masuk istana sebagai Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden (KSP) di bawah Moledoko pada tahun 2018. Fahri baru beberapa bulan silam menjadi pembela Jokowi melalui pintu masuk Koalisi Indonesia Maju (KIM) Jilid 2 yang dicetuskan Prabowo sebagai nama koalisinya di Pilpres 2024.

Di luar nama-nama tersebut diatas tentu masih banyak, baik dari segmen politisi, tokoh masyarakat, atau relawan yang sebelumnya adalah lawan politik Jokowi, kini mereka menjadi bagian dari para pembelanya dan berhimpun di kubu Prabowo-Gibran.

 

Pragmatisme Politik
Pragmatisme politik atau politik pragmatis dalam konteks diskusi ini (bukan Pragmatisme sebagai sebuah aliran filsafat) secara sederhana dapat dimaknai sebagai sikap dan cara berpolitik yang lebih mengedepankan pertimbangan-pertimbangan "kemanfaatan, kegunaan, atau keuntungan" yang bersifat personal dari suatu pilihan sikap dan tindakan politik.

Pragmatisme politik adalah lawan dari idealisme politik. Para elit yang berwatak pragmatis melihat politik sebagai sarana untuk semata-mata menarget dan mencapai tujuan-tujuan pribadi. Bisa kekuasaan, jabatan, kedudukan, kekayaan, popularitas dan aspek-aspek lain yang setara dengan ini.

Untuk mewujudkan target-target tujuan personalnya cara apapun bisa mereka lakukan. Termasuk yang berkarakter Machiavellian sekalipun, menganggap segala cara menjadi halal. Mereka berpolitik tanpa landasan moral dan etik, mengesampingkan integritas.

Untuk mencapai tujuannya, suatu waktu mereka bisa tampil sebagai seorang kritikus yang tajam, obyektif dan tampak salih. Tapi jika tujuan yang mereka sasar hanya bisa diraih dengan cara mengesampingkan moral dan etik, menghempaskan obyektifitas dan integritas, maka dengan cepat mereka bisa berubah menjadi seorang demagog ulung.

Sebaliknya, para elit berkarakter idealis melihat politik sebagai sarana untuk mengikhtiarkan terwujudnya kebaikan-kebaikan bersama melalui jalan yang dilandasi moral dan etik, dibalut dengan prinsip-prinsip integritas pribadi, serta kesetiaan pada nilai-nili yang bersifat ideologis.

Tanpa bermaksud menggeneralisir fakta-fakta, watak pragmatis itulah yang nampaknya menghinggapi sebagian besar para elit politik kita. Mereka tidak merasa harus peduli dengan apa yang pernah dilakukannya kemarin-kemarin. Bahkan jika itu adalah pernyataan atau tindakan yang paling memalukan sekalipun dalam pandangan publik.

Watak pragmatis dari para elit politik kita yang menampilkan wajah paradoks, ironika, inikonsistensi, hipokritas dan karakter-karakter sejenis lainnya itu tersimpan rapi jejak digitalnya.

Siapa saja dengan mudah bisa membuka kembali rekaman bagaimana misalnya Prabowo pernah menyatakan kepada pendukungnya di Pemilu 2019, bahwa dirinya akan timbul dan tenggelam bersama rakyat. Tetapi kemudian memilih gabung dengan pemerintahan Jokowi dan meninggalkan kepiluan di hati para pendukungnya.

Atau Ngabalin yang menyebut Jokowi sebagai Capres kerempeng, Fahri yang super-aktif mengkritik (hampir) apapun yang dilakukan Jokowi. Dan tentu saja AHY, yang belum terlalu lama mengkritik tajam UU Cipta Kerja dan proyek Food Estate.

Bagi mereka adagium "tidak ada lawan dan kawan yang abadi dalam politik, yang abadi adalah kepentingan", yang sesungguhnya merupakan satir atas dampak sosial dari banalitas perilaku politik itu justru seperti menjadi pembenar pilihan sikap dan perilakunya. Setara derajat kualitasnya dengan pemahaman dan perlakuan mereka atas narasi bahwa "politik itu dinamis."

Maka besok atau lusa tidak perlu kaget apalagi sampai semaput jika kemudian hiruk pikuk pentingnya hak angket untuk membongkar kecurangan Pemilu perlahan senyap. Normalisasi pelanggaran hukum dan etik dipersilahkan lewat. Dan para petarung pragmatis pada akhirnya masuk lingkaran kekuasaan. Waallahu'alam bi Showab.

 

Baca juga yuuk: https://www.kompasiana.com/www.tisna_1965.com/65d6a3b2de948f42c6402ae2/hak-angket-jalan-politik-menuju-pemakzulan-presiden

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun