Untuk mencapai tujuannya, suatu waktu mereka bisa tampil sebagai seorang kritikus yang tajam, obyektif dan tampak salih. Tapi jika tujuan yang mereka sasar hanya bisa diraih dengan cara mengesampingkan moral dan etik, menghempaskan obyektifitas dan integritas, maka dengan cepat mereka bisa berubah menjadi seorang demagog ulung.
Sebaliknya, para elit berkarakter idealis melihat politik sebagai sarana untuk mengikhtiarkan terwujudnya kebaikan-kebaikan bersama melalui jalan yang dilandasi moral dan etik, dibalut dengan prinsip-prinsip integritas pribadi, serta kesetiaan pada nilai-nili yang bersifat ideologis.
Tanpa bermaksud menggeneralisir fakta-fakta, watak pragmatis itulah yang nampaknya menghinggapi sebagian besar para elit politik kita. Mereka tidak merasa harus peduli dengan apa yang pernah dilakukannya kemarin-kemarin. Bahkan jika itu adalah pernyataan atau tindakan yang paling memalukan sekalipun dalam pandangan publik.
Watak pragmatis dari para elit politik kita yang menampilkan wajah paradoks, ironika, inikonsistensi, hipokritas dan karakter-karakter sejenis lainnya itu tersimpan rapi jejak digitalnya.
Siapa saja dengan mudah bisa membuka kembali rekaman bagaimana misalnya Prabowo pernah menyatakan kepada pendukungnya di Pemilu 2019, bahwa dirinya akan timbul dan tenggelam bersama rakyat. Tetapi kemudian memilih gabung dengan pemerintahan Jokowi dan meninggalkan kepiluan di hati para pendukungnya.
Atau Ngabalin yang menyebut Jokowi sebagai Capres kerempeng, Fahri yang super-aktif mengkritik (hampir) apapun yang dilakukan Jokowi. Dan tentu saja AHY, yang belum terlalu lama mengkritik tajam UU Cipta Kerja dan proyek Food Estate.
Bagi mereka adagium "tidak ada lawan dan kawan yang abadi dalam politik, yang abadi adalah kepentingan", yang sesungguhnya merupakan satir atas dampak sosial dari banalitas perilaku politik itu justru seperti menjadi pembenar pilihan sikap dan perilakunya. Setara derajat kualitasnya dengan pemahaman dan perlakuan mereka atas narasi bahwa "politik itu dinamis."
Maka besok atau lusa tidak perlu kaget apalagi sampai semaput jika kemudian hiruk pikuk pentingnya hak angket untuk membongkar kecurangan Pemilu perlahan senyap. Normalisasi pelanggaran hukum dan etik dipersilahkan lewat. Dan para petarung pragmatis pada akhirnya masuk lingkaran kekuasaan. Waallahu'alam bi Showab.
Â
Baca juga yuuk:Â https://www.kompasiana.com/www.tisna_1965.com/65d6a3b2de948f42c6402ae2/hak-angket-jalan-politik-menuju-pemakzulan-presiden