Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama I Nominee Kompasiana Award 2024 - Best in Opinion

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Survei, Quick Count, Real Count, dan Kearifan Para Pihak

13 Februari 2024   11:55 Diperbarui: 18 Februari 2024   06:30 545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebanyak 81 lembaga survei telah resmi terdaftar (bersertifikat) di KPU dan siap melakukan kegiatan quick count besok pada hari pemungutan suara. 

Sebelumnya beberapa dari lembaga survei ini juga telah melakukan kegiatan survei atau jajak pendapat mengenai elektabilitas (potensi keterpilihan) Paslon Capres-Cawapres dan Partai Politik peserta Pemilu.

Kegiatan Survei atau Jajak Pendapat dan Quick Count diatur di dalam Pasal 448-450 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Kedua bentuk kegiatan ini merupakan bagian dari Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu, selain sosialisasi dan pendidikan politik bagi pemilih.

Terkiat kedua kegiatan ini Pasal 448 ayat (3) mengamanatkan bahwa Jajak Pendapat dan Quick Count dapat diselenggarakan dengan tidak melakukan tidak melakukan keberpihakan yang menguntungkan atau merugikan Peserta Pemilu; tidak mengganggu proses penyelenggaraan tahapan Pemilu; bertujuan meningkatkan partisipasi politik masyarakat secara luas; dan mendorong terwujudnya suasana yang kondusif bagi Penyelenggaraan Pemilu yang aman, damai, tertib, dan lancar.

Survei dan Quick Count

Jajak pendapat, atau dalam konteks Pemilu lebih dikenal dengan istilah survei (elektabilitas) dan quick count merupakan kegiatan ilmiah yang sama-sama memiliki kemampuan prediktif mengenai hasil Pemilu.

Tentu saja tidak selalu akurat. Karena itu secara metodologis dalam kedua kegiatan ini para pegiat sruvei selalu mencantumkan margin or error. Yakni tingkat kesalahan dalam hasil yang diperoleh dari survei pengambilan sampel secara acak (random). 

Margin of error ini sekaligus menggambarkan tingkat kepercayaan hasil survei maupun quick count. Semakin kecil margin of error suatu hasil survei atau quick count, maka semakin tinggi tingkat kepercayaan hasil keduanya.

Tetapi keduanya berbeda dalam beberapa aspek. Jajak pendapat atau survei (elektabilitas) dilakukan sebelum kegiatan pemungutan dan penghitungan suara. 

Sedangkan quick count dilakukan setelah pemungutan dan penghitungan suara Pemilu. Survei menghimpun data persepsi responden, dan karenanya pasti bersifat subyektif. Sedangkan quick count menghimpun data hasil rekapitulasi penghitungan suara di TPS.

Oleh sebab pengambilan jenis sumber data yang berbeda itu, maka survei menghasilkan data potensi keterpilihan (elektabilitas) Paslon. Sedangkan quick count menghasilkan data (cepat) hasil Pemilu, meskipun sekali lagi tetap bersifat prediktif karena bukan hasil penghitungan resmi.

Baca juga yuuk: Titik Rawan Kecurangan Pemilu: Pahami, Awasi, dan Koreksi

Hasil Survei dan Quick Count Berbeda

Secara teoritik para ahli pada umumnya berpendapat bahwa data hasil survei dengan quick count mestinya tidak jauh berbeda. Dengan catatan, bahwa survei dilakukan secara berkala, dan survei terakhir dilakukan dalam jarak waktu yang relatif dekat dengan pemungutan dan penghitungan suara. 

Sampai batas tertentu, pendapat ini banyak yang terkonfirmasi dalam sejarah Pemilu dan Pilkada di Indonesia. Bahkan juga mendekati atau hampir sama persis dengan hasil real count yang dilakukan oleh KPU.

Tetapi dalam praktiknya, di beberapa Pilkada hasil survei kerap berbeda jauh dengan hasil quick count, dan akhirnya juga jomplang angkanya dibandingkan dengan hasil real count oleh KPU. Contoh kasus pada Pilkada 2018 Jabar dan Jateng.

Dalam Pilgub Jabar 2018 sejumlah lembaga survei memprediksi Paslon Sudrajat-Ahmad Syaikhu akan mampu menembus angka diatas 10% dan akan berakhir di posisi terakhir dari 3 Paslon kala itu. 

Faktanya kemudian hasil quick count suara Sudrajat-Syaikhu tembus ke angka 29 persenan. Perolehan ini terpaut tidak jauh dari suara Ridwan Kamil-Uu yang menempati urutan pertama dengan perolehan suara 32 persenan.

Kasus sejenis terjadi di Pilgub Jateng 2018. Beberapa lembaga survei memprediksi Paslon Sudirman Said-Ida Fauziyah hanya akan memperoleh angka di kisaran 21 persen. 

Sementara Ganjar-Yasin waktu itu diprediksi meraih angka di kisaran 67 persenan. Faktanya kemudian hasil hitung cepat menunjukan angka Ganjar-Yasin turun ke angka 56 persenan, dan Sudirman-Ida tembus ke angka 43 persenan.

Mengapa hasil survei berbeda dengan quick count? Salah satu faktor penyebabnya adalah soal subyektifitas responden (pemilih) ketika disurvei. 

Subyektifitas ini berkaitan erat dengan potensi ketidakajegan sikap dan preferensi pemilih. Berbagai faktor atau variabel bisa memengaruhi keajegan pilihan sikap pemilih. 

Mulai dari psikologi pemilih sendiri, informasi yang diterima, bahkan juga hoax yang tiba-tiba mereka terima dan percayai. Semua ini bisa mengubah sikap dan preferensi  pemilih pada disurvei dengan saat mereka memberikan suara. 

Selain itu faktor waktu. Semakin jauh jarak waktu terakhir survei dilakukan dengan hari pemungutan suara dimana quick count dilakukan, maka semakin rentan terhadap perubahan sikap dan preferensi pemilih. 

Karena pada rentang waktu jeda antara survei terakhir dengan hari pemungutan suara berbagai peristiwa bisa terjadi dan memengaruhi sikap dan preferensi pemilih.

Quick Count dan Real Count

www.kompas.com
www.kompas.com

Selain survei dan quick count, dalam perhelatan Pemilu juga dikenal Real Count seperti disinggung di atas. Berbeda dengan quick count yang merupakan hasil hitung cepat oleh lembaga-lembaga survei. Real count merupakan hasil penghitungan suara resmi yang dilakukan oleh KPU.

Real count dihasilkan melalui penghitungan dan rekapitulasi suara manual secara berjenjang mulai dari tingkat KPPS di setiap TPS, kemudian naik ke PPK di setiap Kecamatan, KPU Kabupaten/Kota, KPU Provinsi dan terakhir rekapitulasi di tingkat nasional oleh KPU RI. Karena itu hasil real count membutuhkan waktu yang panjang untuk bisa diketahui oleh masyarakat.

Pemahaman masyarakat terkait survei, quick count dan real count sebagaimana diuraikan di atas penting untuk meminimalisir potensi kegaduhan tambahan terkait hasil Pemilu nanti. 

Poin pentingnya, masyarakat harus memahami bahwa hasil resmi Pemilu didasarkan pada real count yang dilakukan secara manual dan terbuka oleh KPU. Bukan pada hasil survei atau quick count lembaga manapun.

Tetapi saat yang sama juga dibutuhkan kearifan dari para penyelenggara survei dan quick count untuk tidak berebut saling klaim bahwa hasil lembaganya paling akurat dan kredibel. Karena hal ini bisa memengaruhi psikologi-politik pemilih dalam membaca dan menyikapi hasil Pemilu. Bisa menimbulkan kesalahfahaman, memicu saling klaim kemenangan, dan akhirnya menyulut pertengkaran antar kubu pendukung Paslon atau Parpol.

Mampir yuuk: Awas, Politik Uang di Masa Tenang

Sebagaimana diamanatkan UU Pemilu tadi, bahwa penyelenggaraan survei dan quick count tidak boleh melakukan keberpihakan sekaligus harus mendorong terwujudnya suasana yang kondusif bagi penyelenggaraan Pemilu yang aman, damai, tertib, dan lancar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun