Minggu 11 Februari 2024 kita akan memasuki Masa Tenang Pemilu. Sesuai regulasi waktunya 3 hari. Waktu yang cukup untuk menimbang dan membanding, memaksimalkan anugerah Tuhan yang bernama akal pikiran untuk memilih "dwi-tunggal" Presiden dan Wakil Presiden yang akan menakhodai kapal besar bernama Indonesia dalam lima tahun ke depan.
Masa TenangÂ
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 1 angka (36) tentang Pemilu menjelaskan, bahwa "Masa Tenang adalah masa yang tidak dapat digunakan untuk melakukan aktivitas kampanye pemilu".Â
Sesuai dengan istilahnya, Masa Tenang dimaksudkan untuk menciptakan suasana tenang, tertib, aman dan damai dalam masyarakat setelah 75 hari sebelumnya di masa kampanye ruang-ruang publik disesaki oleh kegiatan, aksi-aksi dan narasi-narasi kampanye oleh para peserta Pemilu.
Karena itu Pasal 287 ayat (5) UU Pemilu juga mengatur bahwa selama masa tenang, media massa cetak, media daring, media sosial, dan lembaga penyiaran dilarang menyiarkan berita, iklan, rekam jejak Peserta Pemilu. Â Atau bentuk lainnya yang mengarah pada kepentingan Kampanye Pemilu yang menguntungkan atau merugikan peserta Pemilu.
Tujuh puluh lima hari masa kampanye dianggap dan disepakati cukup bagi para Paslon untuk menyampaikan visi-misi dan gagasan-gagasan programatiknya dalam memimpin dan membangun Indonesia lima tahun ke depan. Demikian juga, dianggap cukup bagi rakyat untuk mengetahui secara utuh figur-figur bakal pemimpinnya.
Maka dalam situasi tenang dan damai inilah masyarakat disilahkan untuk menimbang, menakar dan membanding dengan jernih siapa diantara tiga Paslon "dwi-tunggal" yang paling cakap dan layak diberikan mandat, diamanahi kekuasaan untuk memimpin bangsa dan negara.
Faktor Eksternal yang Perlu Dipertimbangkan
Pikiran yang jernih dan akal sehat diperlukan dalam menimbang dan membanding para kandidat yang akan diberi mandat agar di kemudian hari Indonesia tidak tersesat. Untuk kebutuhan ini berbagai pendekatan dan cara pandang telah ditawarkan para ahli kepada masyarakat. Dalam konteks inilah kemudian kita bicara soal kriteria ideal yang harus dimiliki figur-figur kandidat serta visi-misi dan program yang diusungnya.
Kedua aspek itu tentu saja penting; kriteria dan visi-misi para kandidat. Tetapi dalam konteks situasional tertentu, ada faktor satu lain yang menurut hemat saya tidak kalah penting, bahkan sangat penting untuk difahami dan dijadikan dasar pertimbang para pemilih dalam memutuskan pilihannya.
Faktor itu bersifat eksternal, bukan sesuatu yang melekat pada para kandidat meskipun tentu saja ada kaitannya dengan proses dan perjalanan mereka maju sebagai Paslon Presiden-Wakil Presiden. Faktor yang dimaksud adalah proses kandidasi, proses pencalonan bagaimana para kandidat saat ini akhirnya sampai pada posisi Capres dan Cawapres.
Baca yuu Guidance Pemilu dari MUI: https://www.kompasiana.com/www.tisna_1965.com/65b5ca87c57afb571e015dd2/fatwa-mui-tentang-pemilu-syarat-pemimpin-dan-golput
Cacat Moral Sejak AwalÂ
Proses pencalonan para kandidat penting menjadi salah satu faktor yang dipertimbangkan. Penting direview, dipahami dan dikaji secara objektif dan jernih. Kita tahu, proses pencalonan (kandidasi) Pilpres 2024 ini sejak awal telah diwarnai dengan kegaduhan yang belum pernah terjadi dalam sejarah elektoral Indonesia sebelumnya.
Kegaduhan itu, yang kemudian berekor panjang hingga saat ini, dipicu oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90 perihal syarat minimal usia Capres dan Cawapres. Putusan ini sah secara hukum, dan dengan modal putusan inilah Gibran bisa menjadi Cawapres pendamping Prabowo.
Masalahnya kemudian, setelah banyak pihak mempersoalkan putusan tersebut dan mengadukannya kepada Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), para hakim MKMK mendapatkan bukti-bukti kuat dan meyakinkan perihal adanya pelanggaran etik berat dalam proses peradilan judicial review di MK. Anwar Usman selaku Ketua MK akhirnya diberhentikan dari jabatannya sebagai Ketua. Namun sekali lagi, secara hukum putusan itu sah; final and binding, tuntas dan mengikat.
Poin penting yang perlu difahami pemilih dari kasus itu adalah, bahwa proses pencalonan Gibran sebagai Cawapres telah melewati satu fase tak sehat. Yakni pelanggaran etik yang dilakukan oleh Ketua MK, yang tidak lain adalah pamannya sendiri. Suatu peristiwa nir-etik yang pasti akan dicatat panjang dalam sejarah masa depan kepolitikan Indonesia.
Kasus nir-etik itu penting menjadi dasar pertimbangan karena semua bangsa beradab pastinya tidak menginginkan negaranya dipimpin oleh seorang pemimpin yang lahir dari suatu proses politik elektoral yang secara moral telah cacat sejak awal.
Satu hal yang patut dikhawatirkan dan terbukti sekarang telah menebarkan kecemasan bahkan di kalangan cendekiawan adalah bahwa langkah awal yang buruk ini akan menjadi tonggak sejarah hadirnya keburukan demi keburukan di kemudian hari.
Dan tiga hari lalu keburukan moral itu sudah terjadi. Ketua dan semua Anggota KPU RI dinyatakan oleh DKPP melanggar kode etik sebagai penyelenggara Pemilu karena menerima pendaftaran Paslon Prabowo-Gibran sementara Peraturan KPU yang mengatur pendaftaran Capres-Cawapres belum direvisi sesuai putusan MK 90 yang cacat etik itu.
Mencegah yang Terburuk BerkuasaÂ
Tentu saja harus diakui, bahwa semua Paslon juga bukanlah figur-figur yang sempurna. Dan Pemilu memang tidak sedang mencari sosok supermulia, manusia paripurna serupa Nabi atau Malaikat.
Tetapi kewarasan budi dan akal sehat (common sense) kebangsaan kita pastilah akan menuntun pada logika sederhana. Jika tidak ada figur terbaik dan ideal, maka pilihlah figur yang paling baik diantara para calon yang ada saja.
Jika yang baik pun tidak ada (sementara sudah tiba waktunya bangsa ini harus memilih pemimpin karena kewajiban syar'i atau amanat konstitusi), maka pilihlah figur yang keburukan atau potensi keburukannya paling kecil, paling sedikit.
Sebagaimana didalilkan dalam tesis minimalis Profesor (Romo) Magnis Suseno. Bahwa Pemilu bukan untuk memilih yang terbaik, melainkan untuk mencegah yang terburuk berkuasa.
Data dan informasi seputar para kandidat sudah sangat terbuka, termasuk latar belakang sosial, rekam jejak bahkan juga lingkungan yang mengitarinya saat ini. Siapa berkawan dengan siapa sangat jelas, dan kawan siapa tersandera persoalan apa juga sudah terang benderang.
Simak juga yuu:Â https://www.kompasiana.com/www.tisna_1965.com/65be43cd12d50f287858b934/anies-baswedan-dan-potensi-kepemimpinan-profetik
Tetapi itu semua bisa tidak berguna sama sekali, kecuali jika akal sehat dan kewarasan budi para pemilih digunakan maksimal untuk menimbang, membanding dan memutuskan. Maka ayolah, di Masa Tenang nanti, katong maksimalkan piranti akal sehat agar di kemudian hari Indonesia tidak tersesat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H