Merespon situasi terkini kepolitikan nasional, sejumlah civitas akademika Universitas Gajah Mada (UGM) mengeluarkan "Petisi Bulaksumur". Petisi yang berisi catatan kritis dan peringatan untuk Presiden Jokowi ini dibacakan oleh Prof. Koentjoro, Guru Besar Fakultas Psikologi, didampingi sejumlah Guru Besar, Dosen, Mahasiswa dan Alumni UGM di Balaiirung Gedung Pusat UGM.
Sebelum petisi dibacakan, sejumlah akademisi menyampaikan orasi yang dikemas dalam mimbar akademik bertajuk Menjaga Kemurnian Demokrasi Indonesia. Beberapa akademisi yang menyampaikan orasinya antara lain Prof. Dr. Sofian Effendi (Rektor UGM, 2002-2007), Prof. Ir. Panut Mulyono (Rektor UGM, 2017-2022), Prof.Yati Soenarto, Dr. Zainal Arifin Mochtar, Dr. Abdul Gaffar Karim dan Ketua BEM UGM Gielbran Muhammad Noor (https://ugm.ac.id, 1 Februari 2024).
Petisi Bulaksumur intinya memuat ungkapan penyesalan civitas akademik UGM atas berbagai bentuk penyimpangan yang dilakukan Presiden Jokowi dari prinsip-prinsip dan moral demokrasi, kerakyatan, dan keadilan sosial yang merupakan esensi dari nilai-nilai Pancasila.Â
Oleh karena itu mereka meminta, mendesak dan menuntut segenap aparat penegak hukum dan semua pejabat negara dan aktor politik yang berada di belakang Presiden termasuk Presiden sendiri untuk segera kembali pada koridor demokrasi serta mengedepankan nilai-nilai kerakyatan dan keadilan sosial.
Selain itu, mereka juga mendesak DPR dan MPR mengambil sikap dan langkah konkret menyikapi berbagai gejolak politik yang terjadi pada pesta demokrasi elektoral yang merupakan manifestasi demokrasi Pancasila untuk memastikan tegaknya kedaulatan rakyat berlangsung dengan baik, lebih berkualitas, dan bermartabat.Â
Isi Lengkap Petisi Bulaksumur
Berikut isi lengkap Petisi Bulaksumur untuk Presiden Jokowi:
"Kami menyesalkan tindakan-tindakan menyimpang yang justru terjadi pada masa pemerintahan Presiden Jokowi yang juga merupakan bagian dari keluarga besar Universitas Gadjah Mada (UGM).Â
Pelanggaran etik di Mahakamah Konstitusi, keterlibatan sejumlah aparat penegak hukum dalam berbagai demokrasi perwakilan yang sedang berjalan, dan pernyataan kontradiktif pembenaran-pembenaran presiden tentang keterlibatan pejabat publik dalam kampanye politik, serta netralitas dan keberpihakan merupakan wujud penyimpangan dan ketidakpedulian akan prinsip demokrasi.Â
Presiden Joko Widodo sebagai alumni semestinya berpegang pada jati diri UGM yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila dengan turut memperkuat demokratisasi agar berjalan sesuai standar moral yang tinggi dan dapat mencapai tujuan pembentukan pemerintahan yang sah (legitimate) demi melanjutkan estafet kepemimpinan untuk mewujudkan cita-cita luhur sebagaimana tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.Â
Presiden Joko Widodo semestinya selalu mengingat janjinya sebagai alumni Universitas Gadjah Mada. 'Bagi kami almamater kuberjanji setia. Kupenuhi dharma bhakti tuk Ibu Pertiwi. Di dalam persatuanmu jiwa seluruh bangsaku. Kujunjung kebudayaanmu kejayaan Nusantara.Â
Alih-alih mengamalkan dharma bhakti almamaternya dengan menjunjung tinggi Pancasila dan berjuang mewujudkan nilai-nilai di dalamnya. Tindakan Presiden Jokowi justru menunjukkan bentuk-bentuk penyimpangan pada prinsip-prinsip dan moral demokrasi, kerakyatan, dan keadilan sosial yang merupakan esensi dari nilai-nilai Pancasila.Â
Karena itu, melalui petisi ini kami segenap civitas akademika UGM, meminta, mendesak dan menuntut segenap aparat penegak hukum dan semua pejabat negara dan aktor politik yang berada di belakang Presiden termasuk Presiden sendiri untuk segera kembali pada koridor demokrasi serta mengedepankan nilai-nilai kerakyatan dan keadilan sosial.Â
Kami juga mendesak DPR dan MPR mengambil sikap dan langkah konkret menyikapi berbagai gejolak politik yang terjadi pada pesta demokrasi elektoral yang merupakan manifestasi demokrasi Pancasila untuk memastikan tegaknya kedaulatan rakyat berlangsung dengan baik, lebih berkualitas, dan bermartabat." (www.tirto.id. 31 Januari 2024)Â
Â
Pada akhir pembecaan petisi, dosen Sastra Indonesia UGM, Heru Marwata kemudian membacakan puisi berjudul "Pringatan". Puisi ini karya Wiji Thukul, aktifis sekaligus penyair yang dengan puisi-puisinya melakukan perlawanan terhadap rezim orde baru kala itu.
Wiji Thuku hilang misterius sejak tahun 1998, dan diduga termasuk salah seorang korban penghilangan paksa oleh rezim orde baru (www.kompas.com, 6 Januari 2023). Ini dia puisinya:
PeringatanÂ
Jika rakyat pergi /Â Ketika penguasa pidato /Â Kita harus hati-hati /Â Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat sembunyi dan berbisik-bisik /Â Ketika membicarakan masalahnya sendiri /Â Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Bila rakyat tidak berani mengeluh /Â Itu artinya sudah gawat /Â Dan bila omongan penguasa tidak boleh dibantah /Â Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang /Â Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan /Â Dituduh subversif dan mengganggu keamanan /Â Maka hanya ada satu kata: lawan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H