Kamis kemarin, sejumlah media nasional mengabarkan Sri Mulyani, Menteri Keuangan bakal mundur dari jabbatannya. Kabar ini bersumber dari pernyataan ekonom senior UI sekaligus peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) dalam acara Political Economic Outlook 2024Â di Tebet yang digelar di Jakarta, Sabtu 13 Januari lalu.
Sebelum media mengangkat berita ini, video pernyataan Faisal Basri sudah lebih dulu tersebar di berbagai platform jejaring media sosial. Dalam tayangan video tersebut, Faisal antara lain mengungkapkan :
"...saya denger ibu Sri Mulyani yang paling siap untuk mundur. Pramono Anung udah gagap jadi Menteri, kan PDIP belain Jokowi terus kan pusing, katanya nunggu momentum. Nah mudah-mudahan momentum ini segera, insyaAllah itu jadi pemicu yang dahsyat seperti waktu Pak Ginanjar dan 12 menteri lainnnya mundur zaman Pak Harto karena ini secara moral fondasinya sudah rontok."
Lantas apa yang menjadi alasan Sri Mulyani (dan kabarnya juga beberapa Menteri lainnya) diduga akan mundur dari jabatannya?
Alasan utama yang beredar di ruang publik adalah karena mereka merasa sudah tidak sejalan lagi dengan kebijakan dan sikap Jokowi yang mendukung Prabowo-Gibran dalam kontestasi Pilpres. Faisal Basri menduga, akibat pemihakan Jokowi ini para Menterinya banyak merasa terganggu karena terlalu banyak intervensi yang masuk dalam tugas dan fungsi mereka untuk kepentingan politik tertentu apalagi yang terkait dengan penggunaan anggaran negara.
"Jadi Pak Jokowi ini ingin keliling Indonesia gitu 2024 lebih intens, bagikan apalah gitu ya, 'wah itu anggarannya belum ada di APBN pak', 'tapi uangnya ada?' diusahakan pak,' 'laksanakan'. Itu kan kalau dilakukan crime karena setiap sen dari APBN itu harus persetujuan, enggak bisa di jumbalit-jumbalitkan begitu, nah mulai resah teman-teman ini," ungkap Faisal menirukan percakapannya dengan seorang yang ia sebut menteri selain Sri Mulyani dan Basuki (CNBCIndonesia, 18 Januari 2024).Â
Bagaimana Dampak yang Bisa Terjadi ?
Pernyataan Faisal Basri tentu membutuhkan bukti otentik agar tak terkesan sekedar asumsi dan dugan spekulatif saja, setidaknya klarifikasi dari menteri-menteri yang disebutkannya. Dan Sri Mulyani sendiri sudah buka suara soal isu ini, hanya saja bukan klarifikasi yang jernih dan memadai. Kepada media pagi tadi di istana, ia hanya menyatakan, "saya bekerja, bekerja". Lalu beranjak tanpa banyak bicara (Detik.com, 19 Januari 2024).
Tetapi di luar pernyataan Faisal Basri dan jauh sebelum ia mempublikasikannya kepada media, kabar bahwa soliditas kabinet terganggu akibat kontestasi Pilpres sesungguhnya sudah lama berhembus. Dan ini tentu saja masuk akal dan mudah difahami, mengingat para Menteri faktanya memang terbelah kepada dua kubu Paslon Capres-Cawapres.
Sejumlah Menteri ikut bersama Jokowi mendukung Prabowo-Gibran, dan sebagian lagi (meski tidak secara terbuka) jelas berada di belakang Ganjar-Mahfud, terutama para Menteri yang berasal dari PDIP. Bahkan tidak mustahil ketidaksolidan itu juga sesungguhnya terjadi pada Menteri-menteri yang berasal dari Nasdem dan PKB yang mendukung Paslon Anies-Cak Imin.
Lalu bagaimana dampak politik yang bisa timbul jika benar sejumlah Menteri akhirnya mengundurkan diri dari jabatannya? Secara teknik birokratik mungkin tidak akan serta merta berdampak buruk terhadap jalannya pemerintahan karena ada sistem dan mekanisme kelembagaan yang sudah mapan. Sebagai Presiden, Jokowi juga bisa dengan  mudah dan sigap mengangkat para penggantinya (yang boleh jadi sudah "ngantri" di kubu Koalisi Indonesia Makmur).
Tetapi secara politik hal ini bisa berdampak pada aspek legitimasi pemerintahan Jokowi di mata rakyat dan dunia internasional. Bahkan secara internal juga bisa mempengaruhi moralitas anggota kabinet yang lain, yang masih menjunjung tinggi etik dan moralitas tentu.
Kemudian dalam konteks perhelatan Pemilu, mundurnya sejumlah Menteri juga potensial bisa merontokan elektabilitas Prabowo-Gibran, terutama jika yang mundur adalah para Menteri dari kalangan profesional, non-partai politik. Satu hal yang perlu dikhawatirkan publik adalah terganggunya stabilitas politik dan keamanan, yang akihrnya mengarus dampak buruknya pada perhelatan Pemilu.
Apa yang Harus Dilakukan Jokowi ?
Sementara itu, di ranah publik, mundurnya para Menteri secara masal juga bisa memicu reaksi negatif masyarakat. Kekecewaan publik yang selama ini hanya bisa disuarakan lewat media dan ruang-ruang diskusi terbatas, bisa bertransformasi menjadi gerakan massa yang membahayakan stabilitas, bahkan mengancam posisi Presiden Jokowi.
Sekedar mengingatkan, tahun 1998 silam Soeharto juga jatuh setelah belasan menterinya mundur di tengah desakan ribuan mahasiswa dari berbagai kampus dan di berbagai daerah. Â Â
Maka, semata-mata untuk kebaikan dan kemaslahatan negeri ini, Presiden Jokowi hendaknya segera mengambil sikap kenegarawanan. Sudahi "cawe-cawenya" dalam urusan Pemilu. Jadilah negarawan yang berada di posisi "ekstrim tengah" kontestasi elektoral, yang mengayomi semua peserta Pemilu (Partai Politik, DPD maupun Palson Capres-Cawapres) secara adil dan setara.
Dan yang tak kalah penting, jadilah pemimpin etik yang menjadi teladan moral bagi segenap rakyat. Hampura, Pak Presiden.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H