Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama I Nominee Kompasiana Award 2024 - Best in Opinion

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Waspadai Lima Titik Rawan Potensi Kecurangan Pemilu

4 Januari 2024   12:35 Diperbarui: 6 Januari 2024   02:25 885
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Baliho berisi ajakan untuk menolak praktik politik uang dipasang oleh Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan Ngablak di Dusun Babrik, Desa Tejosari, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (9/12/2018). Foto: KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Sekira lima pekan lagi masa kampanye Pemilu akan berakhir. Berbagai bentuk pelanggaran di fase kegiatan kampanye ini terjadi di banyak daerah. Tanpa bermaksud meremehkan perbuatan melawan hukum dan dampak yang diakibatkannya, seberat apapun pelanggaran di masa kampanye belumlah berdampak langsung terhadap hasil Pemilu. Karena pada akhirnya, hasil akhir Pemilu bakal ditentukan oleh peta perolehan suara masing-masing peserta Pemilu (DPR, DPD, DPRD dan Pasangan Capres-Cawapres).

Nah, peta perolehan hasil suara itu bakal ditentukan melalui 4 tahapan puncak Pemilu. Yakni tahapan pemungutan suara, penghitungan suara, rekapitulasi suara, dan tahapan jeda antara kegiatan rekapitulasi suara dengan pleno penetapan hasil Pemilu secara berjenjang oleh KPU Kabupaten/Kota, KPU Provinsi dan KPU RI. Pada titik inilah berbagai kerawanan dan potensi kecurangan Pemilu bisa terjadi.

Sebelum memetakan secara mitigatif empat titik rawan kecurangan Pemilu itu, ada satu tahapan yang tak kalah rawan dan bisa memengaruhi para pemilih dalam memutuskan pilihannya pada hari pencoblosan. Yakni masa tenang. Mari kita periksa kesemua tahapan itu.

Masa Tenang

Di dalam Pasal 1 angka (36) UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dijelaskan, bahwa "Masa Tenang adalah masa yang tidak dapat digunakan untuk melakukan aktivitas kampanye pemilu". Berdasarkan tahapan dan jadwal yang ditetapkan KPU, masa tenang ini akan berlangsung dari tanggal 11-13 Februari 2024, tiga hari menjelang pemungutan dan penghitungan suara.

Sesuai dengan istilahnya, Masa Tenang dimaksudkan untuk menciptakan suasana tenang, tertib, aman dan damai dalam masyarakat setelah 75 hari sebelumnya di masa kampanye ruang-ruang publik disesaki oleh kegiatan, aksi-aksi dan narasi-narasi kampanye oleh para peserta Pemilu. Dalam situasi tenang dan damai inilah publik dapat menimbang dan menakar dengan jernih siapa saja di antara ribuan kandidat (DPRD, DPD, DPR RI dan Paslon Capres-Cawapres) yang akan mereka pilih.

Karena itu Pasal 287 ayat (5) UU Pemilu tadi juga mengatur bahwa selama masa tenang, media massa cetak, media daring, media sosial, dan lembaga penyiaran dilarang menyiarkan berita, iklan, rekam jejak Peserta Pemilu, atau bentuk lainnya yang mengarah pada kepentingan Kampanye Pemilu yang menguntungkan atau merugikan peserta Pemilu.

Kemudian untuk memastikan Pemilu berlangsung jujur, adil dan berintegritas, selama masa tenang UU Pemilu juga melarang pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye Pilpres menjanjikan atau memberikan imbalan kepada pemilih untuk: a. tidak menggunakan hak pilihnya; b. memilih Pasangan Calon; c. memilih Partai Politik Peserta pemilu tertentu; d. memilih calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota tertentu, dan atau e. memilih calon anggota DPD tertentu (Pasal 278 ayat 2).

Berdasarkan pengalaman pada pemilu-pemilu sebelumnya, janji atau imbalan sebagaimana dimaksud norma tersebut justru sering terjadi di lapangan pada masa tenang. Istilah "serangan fajar" yang biasa digunakan untuk menyebut pemberian amplop berisi uang oleh peserta Pemilu termasuk Caleg kepada pemilih dalam praktiknya tidak selalu terjadi terjadi di waktu fajar atau subuh, melainkan sepanjang waktu masa tenang itu. Inilah titik rawan pertama yang perlu mendapat perhatian semua pihak, khususnya Pengawas Pemilu (Kecamatan dan Desa/Kelurahan) di lapangan.

www.kompas.com
www.kompas.com

Pemungutan Suara

Titik rawan kedua dimana kecurangan-kecurangan Pemilu potensial bisa terjadi adalah pada hari dan tanggal pencoblosan atau pemungutan suara. Beberapa modus kecurangan yang biasa terjadi pada tahapan ini dan penting untuk diawasi bersama antara lain sebagai berikut.

Pertama, penyalahgunaan surat pemberitahuan pemungutan suara untuk pemilih atau yang lazim dikenal dengan Formulir Model C6 oleh pemilih yang tidak berhak. Kedua, adanya surat suara yang sudah dicoblos sebelum digunakan oleh pemilih. Ketiga, terdapat pemilih yang memberikan suara lebih dari 1 kali, bisa di TPS yang sama, bisa juga di TPS yang berbeda dalam satu Desa/Kelurahan.

Keempat, terdapat warga yang tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) maupun Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) yang dibuktikan oleh surat pindah memilih atau Model A5, dan juga tidak memilik dokumen administrasi kependudukan seperti KTP tetapi ikut mencoblos. Kelima, adanya pihak-pihak yang melakukan tindakan-tindakan serupa mobilisasi, pengarahan, perintah kepada pemilih untuk mencoblos peserta Pemilu atau kandidat tertentu di lokasi Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Penghitungan Suara 

Selanjutnya kerawanan terjadinya kecurangan Pemilu juga kerap berlangsung pada tahap penghitungan suara setelah pemungutan suara selesai dilakukan. Pada tahap ini modus kecurangan yang kerap ditemukan antara lain terjadinya penggeseran atau pengalihan suara dari satu atau lebih peserta Pemilu (Partai Politik, para Caleg maupun Paslon Presiden-Wapres) ke peserta Pemilu lainnya.

Modus lainnya adalah manipulasi dalam pencatatan perolehan suara. Suara yang diperoleh Caleg atau Capres-Cawapres misalnya 13, tetapi kemudian dengan sengaja dicatat dalam formulir hasil perolehan suara menjadi 15, 23 atau 30 dan seterusnya. Atau sebaliknya, angka yang dicatat sengaja dikurangi dari perolehan suara yang sebenarnya, dari 15 menjadi 13 atau 5 dan seterusnya.

Rekapitulasi Suara

Modus-modus kecurangan sebagaimana yang kerap terjadi pada tahapan penghitungan suara di atas itu secara potensial juga bisa terjadi pada tahap rekapitulasi baik di tingkat Kecamatan oleh Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) maupun di tingkat Kabupaten/Kota oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat. Baik berupa pengailhan atau penggeseran suara maupun manipulasi pencatatan atau pengadministrasian.

Dari sisi besaran potensi kecurangannya memang sudah berkurang, karena dokumen hasil perolehan suara yang dihitung secara berjenjang dari bawah sudah tersebar dan dimiliki oleh para saksi dan diketahui oleh masyarakat. Namun potensi kecurangan ini tetap saja penting dikawal dan diawasi, bukan hanya oleh Pengawas Pemilu yang jumlah personilnya sangat terbatas, tetapi juga oleh peserta Pemilu dan masyarakat.

Jeda antara Rekapitulasi dan Pleno Penetapan Hasil Pemilu

Titik rawan terakhir dimana potensi kecurangan Pemilu bisa terjadi dan karenanya harus dikawal dan diawasi dengan ketat ada pada jeda waktu antara rekapitulasi di tingkat  bawah pelaksana dengan pleno penetapan hasil di tingkat atasnya.

Waktu jeda yang dimaksud itu adalah setelah rekapitulasi perolehan hasil suara di PPK sebelum direkapitulasi dan ditetapkan hasilnya dalam Rapat Pleno KPU Kabupaten/Kota, kemudian pasca penetapan hasil oleh KPU Kabupaten/Kota sebelum direkapitulasi dan ditetapkan dalam Rapat Pleno KPU Provinsi, dan paling ujung pasca penetapan hasil oleh KPU Provinsi sebelum direkapitulasi dan ditetapkan dalalm Rapat Pleno Nasional oleh KPU RI.

Dari sisi besaran potensi kecurangannya, pada tahap jeda ini juga sudah jauh lebih berkurang lagi karena dokumen-dokumen hasil suara di setiap jenjang penghitungan dan rekapitulasi sudah tersebar dan dimiliki para saksi, masyarakat, bahkan juga sudah tersebar di berbagai media pemberitaan.

Namun sekali lagi, sekecil apapun potensi kecurangan baik berupa penggeseran atau pengalihan suara, penambahan atau pengurangan suara peserta Pemilu serta berbagai tindakan manipulasi hasil suara lainnya tetap penting untuk dikawal dan diawasi. Karena diantara orang-orang baik yang menjadi penyelenggara Pemilu di semua jenjang, selalu saja ada oknum-oknum nakal bahkan jahat yang dengan sengaja melakukan kecurangan.   

Lantas siapa yang harus mengawasi semua potensi kecurangan itu ? Secara organik Pemilu kita diselenggarakan oleh tiba lembaga sebagai satu kesatuan fungsi, yakni sebagai penyelenggara Pemilu. KPU dan seluruh jajarannya sebagai penyelenggara/pelaksana, Bawaslu dan seluruh jajarannya sebagai pengawas, dan DKPP sebagai penjaga etik dan perilaku penyelenggara.   

Tetapi kita tahu, personil ketiga lembaga tersebut sangat terbatas jumlahnya, terutama Bawaslu yang diamanahi undang-undang sebagai pengawas seluruh tahapan Pemilu. Terbatas jika dibandingkan dengan kompleksitas tahapan dan kegiatan yang harus diawasi, terbatas pula jika dibandingkan dengan jumlah pemilih dan peserta Pemilu, bahkan juga terbatas jika dihadapkan dengan sistem pemilu kita yang relatif rumit dan kompleks secara teknis.

Oleh sebab itu, keterlibatan dan peran serta masyarakat menjadi penting dan strategis. Penting untuk memastikan tahapan-tahapan puncak Pemilu nanti berlangsung dengan luber, jurdil dan berintegritas. Strategis untuk memastikan proses dan hasil Pemilu ini kredibel dan akuntabel, dapat dipercaya dan diterima oleh para pihak, siapapun saja kelak yang terpilih.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun