Di tengah eksploitasi gimmick dan cara-cara kampanye konvensional alias jadul, model kampanye "Desak Anies" layak mendapat apresiasi. Model ini bukan saja menghadirkan dan fokus pada gagasan sebagai antitesa kampanye yang sekedar mengandalkan gimik-gimik. Tetapi juga mampu membangun suasana deliberative dalam wacana kontemporer demokrasi sebagai cara bagaimana aspirasi publik diartikulasikan secara diskursif dan ditransformasikan menjadi kebijakan politik.
Konsep demokrasi deliberatif lahir dari keprihatinan para ahli yang melihat proses pengambilan keputusan-keputusan dan konsensus-konsensus politik yang dilakukan semakin elitis dan teknoratik. Cara-cara ini cenderung menegasikan peran-peran partisipatif publik dalam berbagai urusan yang justru bakal mengikat mereka ketika suatu keputusan politik diambil oleh negara.
Secara semantik istilah deliberasi berasal dari kata "deliberatio" (Latin), artinya "konsultasi", "menimbang-nimbang", atau "musyawarah". Demokrasi Deliberatif kemudian dimaknai sebagai proses pembahasan, diskusi, musyawarah sekaligus pengujian secara publik terhadap berbagai isu sebelum dirumuskan dan ditetapkan menjadi keputusan politik atau kebijakan politik. Habermas menyebut proses ini dengan istilah "Diskursus Publik".
Ratusan tahun silam model demokrasi deliberatif itu sesungguhnya sudah tumbuh benih-benihnya, baik dalam sejarah peradaban Yunani Kuno maupun dalam sejarah peradaban politik Islam, khususnya di era kepemimpinan politik Khulafa al Rasyidin. Kala itu persoalan-persoalan yang menyangkut hajat hidup orang banyak dibahas dan didiskusikan bersama secara langsung sebelum Raja/Kaisar (era Yunani) atau Khalifah (era Khulafa al Rasyidin) memutuskannya sebagai kebijakan publik.
Di era kontemporer, terma demokrasi deliberatif ini untuk pertama kalinya dipromosikan oleh Joseph Bessete, kemudian dielaborasi lebih mendalam dan operasional antara lain oleh Jurgen Habermas.
Habermas percaya bahwa kebijakan negara yang didasarkan pada wacana publik yang jernih dan obyektif, yang didiskusikan dan diartikulasikan dengan bebas dan tanpa rekayasa akan jauh lebih berkualitas ketimbang kebijakan-kebijakan yang diproduk secara politik dan teknokratik semata. Karena itu ia sangat menganjurkan model yang tadi sudah disinggung, yakni diskursus publik atau musyawarah dalam terminologi khas kita.
Membebaskan Demokrasi dari Hegemoni Partai dan PopulismeÂ
Demokrasi deliberatif sejatinya juga membebaskan demokrasi dari pasungan partai politik yang cenderung lebih mengedepankan kepentingan politik parsialnya. Sekurang-kurangnya, praksis model demokrasi deliberatif bisa menjadi penyeimbang terhadap gagasan-gagasan terselubung atau agenda-agenda tersembunyi partai politik yang tidak selalu kompatibel dan sejalan dengan aspirasi dan kepentingan rakyat. Â
Pada saat yang sama, praksis demokrasi deliberatif juga dapat mencegah atau sekurang-kurangnya mengurangi potensi politik populisme oleh Capres-Cawapres beserta partai-partai koalisi pendukungnya yang kelak terpilih. Politik populisme adalah model kepemimpinan politik dan pengambilan keputusan politik yang lebih mengutamakan arus suara massa yang berkembang, meski berlawanan dengan naral sehat, tidak realistis, jauh dari kebutuhan nyata, bahkan potensial bisa membahayakan kehidupan bersama. Â
Model kampanye "Desak Anies" relevan dengan gagasan demokrasi deliberatif yang dipromosikan Habermas. Dalam "Desak Anies" publik yang hadir dipersilahkan mengajukan pertanyaan, gagasan, dan aspirasi secara random. Tanpa rekayasa, tanpa skenario, kecuali menyangkut urusan teknis pertemuannya saja.
Maka berbagai isu mendesak (urgent), mendesak untuk didengar, difahami, direspon dan disikapi oleh Anies sebagai Capres mengemuka. Mulai dari isu-isu populer seperti lapangan kerja, kesehatan mental, toleransi beragama, nepotisme "orang dalam", Â hingga ke isu-isu sensitif seperti soal dominasi oligarki di sektor ekonomi nasional dan pembangunan IKN.
Pun audiens yang datang, tidak hanya terbatas pada para konstituen atau calon pemilih AMIN. Melainkan dibuka secara luas bagi siapa saja yang berminat hadir. Belakangan para peserta yang hadir bahkan kian meluas ke segmen pemilih yang lebih beragam dari sisi usia. Padahal awalnya, agenda "Desak Anies" ini kabarnya diproyeksikan lebih untuk pemilih milenial dan Gen-Z yang dianggap masih relatif "hijau" dengan isu-isu politik dan demokrasi elektoral.
Role Model
Terlepas dari siapa pencetus gagasan dan Paslon mana yang menggunakannya, Â hemat saya model kampanye "Desak Anies" ini menarik untuk terus dikemabangkan. Jika Paslon AMIN yang terpilih maka model ini menjadi wajib untuk dilanjutkan kelak saat mereka memimpin. Dilanjutkan sebagai salah satu metode deliberatif untuk menyerap aspirasi dan kebutuhan rakyat sebelum suatu kebijakan politik diambil.
Jadi, jangan hanya digunakan sebagai cara sebatas untuk meraih simpati dan dukungan suara. Lalu setelah terpilih game over. Dengan begini kebiasaan lama akan kembali terulang. Rakyat hanya dijadikan pendorong mobil mogok, begitu mesin mobil nyala, rakyat ditinggalkan.
Pun jika yang terpilih kelak adalah Paslon lain. Model "Desak Anies" hanyalah sebuah metode. Yakni metode atau cara bagaimana memberi ruang partisipasi yang lebih bermakna bagi rakyat untuk terlibat dalam proses-proses pengambilan kebijakan bersama. Jadi, tidak ada salahnya jika "Desak Anies" dijadikan semacam role model.
Soal mereknya gampang, tinggal diubah, dimodifikasi, yang penting esensi dari cara ini. Yakni mendengar dan berbicara dengan rakyat secara langsung. Mendengat keluh kesahnya, mendengar kebutuhannya, sekaligus mendengar argumentasinya mengapa sesuatu harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Let's say, misalnya Ganjar-Mahfud yang terpilih. Cukup ambil esensi dari cara ini, ganti merknya. Misalnya dengan "Ganjar-Mahfud Mendengar, Ganjar-Mahfud Mengeksekusi".
Dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi, mulai pertengahan 2024 nanti setelah Pileg dan Pilpres selesai, model "Desak Anies" ini juga nampaknya bagus jika didopsi para bakal kandidat Gubernur, Bupati dan Walikota. Jadi, jangan hanya berani mejeng di baliho dan poster. Tapi berani "didesak" gagasannya, wawasannya, strateginya dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi rakyat dan daerahnya, bahkan rekam jejaknya. "Didesak" random oleh publik, natural tanpa rekayasa. Nah, siapa berani ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H