Model kampanye "Desak Anies" relevan dengan gagasan demokrasi deliberatif yang dipromosikan Habermas. Dalam "Desak Anies" publik yang hadir dipersilahkan mengajukan pertanyaan, gagasan, dan aspirasi secara random. Tanpa rekayasa, tanpa skenario, kecuali menyangkut urusan teknis pertemuannya saja.
Maka berbagai isu mendesak (urgent), mendesak untuk didengar, difahami, direspon dan disikapi oleh Anies sebagai Capres mengemuka. Mulai dari isu-isu populer seperti lapangan kerja, kesehatan mental, toleransi beragama, nepotisme "orang dalam", Â hingga ke isu-isu sensitif seperti soal dominasi oligarki di sektor ekonomi nasional dan pembangunan IKN.
Pun audiens yang datang, tidak hanya terbatas pada para konstituen atau calon pemilih AMIN. Melainkan dibuka secara luas bagi siapa saja yang berminat hadir. Belakangan para peserta yang hadir bahkan kian meluas ke segmen pemilih yang lebih beragam dari sisi usia. Padahal awalnya, agenda "Desak Anies" ini kabarnya diproyeksikan lebih untuk pemilih milenial dan Gen-Z yang dianggap masih relatif "hijau" dengan isu-isu politik dan demokrasi elektoral.
Role Model
Terlepas dari siapa pencetus gagasan dan Paslon mana yang menggunakannya, Â hemat saya model kampanye "Desak Anies" ini menarik untuk terus dikemabangkan. Jika Paslon AMIN yang terpilih maka model ini menjadi wajib untuk dilanjutkan kelak saat mereka memimpin. Dilanjutkan sebagai salah satu metode deliberatif untuk menyerap aspirasi dan kebutuhan rakyat sebelum suatu kebijakan politik diambil.
Jadi, jangan hanya digunakan sebagai cara sebatas untuk meraih simpati dan dukungan suara. Lalu setelah terpilih game over. Dengan begini kebiasaan lama akan kembali terulang. Rakyat hanya dijadikan pendorong mobil mogok, begitu mesin mobil nyala, rakyat ditinggalkan.
Pun jika yang terpilih kelak adalah Paslon lain. Model "Desak Anies" hanyalah sebuah metode. Yakni metode atau cara bagaimana memberi ruang partisipasi yang lebih bermakna bagi rakyat untuk terlibat dalam proses-proses pengambilan kebijakan bersama. Jadi, tidak ada salahnya jika "Desak Anies" dijadikan semacam role model.
Soal mereknya gampang, tinggal diubah, dimodifikasi, yang penting esensi dari cara ini. Yakni mendengar dan berbicara dengan rakyat secara langsung. Mendengat keluh kesahnya, mendengar kebutuhannya, sekaligus mendengar argumentasinya mengapa sesuatu harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Let's say, misalnya Ganjar-Mahfud yang terpilih. Cukup ambil esensi dari cara ini, ganti merknya. Misalnya dengan "Ganjar-Mahfud Mendengar, Ganjar-Mahfud Mengeksekusi".
Dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi, mulai pertengahan 2024 nanti setelah Pileg dan Pilpres selesai, model "Desak Anies" ini juga nampaknya bagus jika didopsi para bakal kandidat Gubernur, Bupati dan Walikota. Jadi, jangan hanya berani mejeng di baliho dan poster. Tapi berani "didesak" gagasannya, wawasannya, strateginya dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi rakyat dan daerahnya, bahkan rekam jejaknya. "Didesak" random oleh publik, natural tanpa rekayasa. Nah, siapa berani ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H