Hari ini tepat 1 Januari 2024. Hari dimana bangsa Indonesia akan memulai lagi halaman baru buku sejarah masa depannya. Sebagai warga, saya ingin menulis di halaman baru buku sejarah ini tentang semakin pentingnya menghidupkan wacana kritis (critical discourse) di tengah fanatisme perkubuan politik elektoral dan potensi bangkitnya kembali otoritarianisme yang selalu terbuka.
Secara sederhana, wacana kritis dapat dimaknai sebagai percakapan atau diskursus seputar isu-isu menyangkut hajat hidup masyarakat, yang tidak hanya terbatas pada aspek tekstual, tetapi juga secara kritis membaca dan menghubungkannya dengan aspek konteksual. Wacana kritis tidak hanya membincang tulisan atau ungkapan lisan, melainkan juga membedah kemungkinan-kemungkinan fenomenologis atau fakta-fakta terselubung di balik tulisan atau ungkapan lisan.
Mengapa perlu Wacana Kritis ?
Dalam kehidupan politik kenegaraan, wacana kritis dibutuhkan setidaknya karena tiga alasan berikut ini.
Pertama, kekuasaan memiliki watak purba yang cenderung korup. "Power tend to corrupct, absolute power corrupct absolutely", demikian Lord Acton mendalilkan. Dalam konteks ini wacana kritis berfungsi sebagai early warning terhadap gejala penyalahgunaan kewenangan atau korupsi politik yang dilakukan penguasa, yang kerap kali tak terbaca jika direspon dengan wacana konvensional.
Kedua, di tengah dinamika politik dengan warga negara yang derajat literasi politik kebangsaannya relatif masih rendah, fanatisme perkubuan, kelompok, dan golongan seringkali meminggirkan nalar sehat dalam merespon atau bereaksi atas setiap fenomena kekuasaan. Dalam konteks ini wacana kritis berfungsi sebagai penengah yang obyektif atas fanatisme pikiran dan sikap perkubuan.Â
Ketiga, di negara-negara yang masih berada dalam fase transisi yang belum tuntas, yang dalam istilah Dankwrat Rustow (1970) disebut berada dalam situasi the battle dan the stalemate, wacana kritis berfungsi sebagai pencegah kemungkinan bangkitnya kembali kekuatan-kekuatan otoritarianisme dan menguasai kembali panggung kekuasaan.
The battle adalah pertarungan atau konflik antara pendukung demokrasi dan elemen-elemen pembela status quo. The Stalemate merupakan situasi kebuntuan setelah para elit saling berseteru, gamang dan mengalami kelelahan untuk menjaga proses demokratisasi yang sedang berlangsung.
Menjaga Demokrasi dan Keselamatan NegaraÂ
Tinggal dalam hitungan pekan, bangsa ini akan memilih pemimpin nasional sekaligus para anggota legislatif (DPR dan DPD) yang akan mewakili kepentingan rakyat di parlemen. Tidak ada yang tahu siapa diantara tiga pasangan calon Presiden-Wakil Presiden yang bakal terpilih dan siapa diantara ribuan kandidat legislator yang bakal mendapat mandat untuk mewakili kepentingan rakyat.
Kita bahkan juga tidak tahu apakah mereka yang terpilih kelak merupakan figur-figur negarawan atau hanya aktor-aktor politik yang sedang berburu kuasa dan kedudukan. Tetapi rezim waktu telah memastikan, bahwa tahun 2024 ini mereka akan memperoleh mandat dari rakyat. DPR dan DPD akan diambil sumpah/janji jabatannya tanggal 1 Oktober 2024, dan Presiden-Wakil Presiden akan diambil sumpah/janji jabatanya tanggal 20 Oktober 2024.
Tentu saja, di arena kampanye saat ini, kita tidak menemukan wacana-wacana buruk yang menjadi bagian dari substansi kampanye mereka. Ketiga paslon Presiden-Wapres misalnya, semua bicara soal komitmennya untuk menghadirkan kehidupan yang lebih demokratis, penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, penyediaan lapangan kerja, peningkatan kesehatan dan kesejahteraan dan wacana-wacana mulia lainnya.
Tetapi dengan wacana kritis yang terus hidup, dihidupkan oleh nalar sehat dan sikap-sikap obyektif untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara, gagasan dan agenda program mereka bisa dibaca secara kritis. Bacaan inilah yang memungkinkan kekeliruan merumuskan asumsi-asumsi, cara berpikir, tawaran agenda dan program serta cara pencapaian yang bakal ditempuh ditemukan.
Boleh jadi hasil uji kritis tidak menemukan banyak sisi lemah dari visi, misi dan gagasan-gagasan programatik para kandidat. Semua item mendekati sempurna dirumuskan : komprehensif, koheren dan sinergis, terukur dan realistis, sesuai kebutuhan kekinian sekaligus visioner.
Tetapi kita tahu belaka, dalam sejarah peradaban kekuasaan politik, tidak banyak rezim, bahkan rezim hasil Pemilu yang paling demokratis sekalipun, yang memiliki kearifan paripurna, keajegan menjaga janji, dan konsistensi memegang komitmen politik yang mereka ucapkan saat membutuhkan dukungan rakyat.
Buku populer hasil riset dua professor Universitas Harvard, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, How Democracies Die (2018) secara lugas dan tuntas menjelaskan fenomena kemunduruan bahkan kematian demokrasi di tangan rezim elektoral yang bertransformasi menjadi penguasa-penguasa otoriter. Salah satu fase menuju transformasi kematian demokrasi ini adalah dengan menindas dan melemahkan kekuatan-kekuatan oposisional.
Mungkinkah situasi demikian bisa terjadi di Indonesia setelah pemerintahan baru hasil Pemilu dilantik dan definitif berkuasa? Inilah justru yang diingatkan Levitsky dan Ziblatt. Hasil risetnya menunjukkan bahwa fenomena ini tengah berlangsung di berbagai negara demokrasi di abad 20 dan 21 ini.
Jika mau jujur, dalam lanskap kepolitikan mutakhir Indonesia, kematian kekuatan oposisional terutama di parlemen sesungguhnya sudah terasa dalam beberapa tahun terakhir di era kedua pemerintahan Jokowi-Ma'ruf. Kematian ini ditandai dengan merosotnya kualitas demokrasi sebagai ajang pertukaran dialektis pikiran dan aspirasi di satu sisi, dan menguatnya kecenderungan watak otoritarianisme dalam pemerintahan di sisi yang lain.
Wacana kritis yang terus hidup, dihidupkan oleh nalar sehat dan sikap-sikap obyektif untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara, sekurang-kurangnya dapat menghambat proses rekonsolidasi kekuatan-kekuatan berwatak otoritarian untuk kembali naik panggung dan berkuasa.
Sejarah memang tidak berulang, demikian para bijak mendalilkan. Tetapi dari sejarah kita bisa belajar bagaimana melindungi demokrasi dan keselamatan negara ini dari rezim otoritarian. Dan salah satu kuncinya adalah dengan merawat dan menghidupkan terus wacana kritis di tengah publik, di hadapan banalitas operasi kekuasaan.
Selamat Tahun Baru 2024. Mari sambut keberlanjutan untuk capaian-capaian yang sudah baik, dan mari gaungkan perubahan dan perbaikan untuk capaian-capaian yang belum sesuai harapan.
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H