Kita bahkan juga tidak tahu apakah mereka yang terpilih kelak merupakan figur-figur negarawan atau hanya aktor-aktor politik yang sedang berburu kuasa dan kedudukan. Tetapi rezim waktu telah memastikan, bahwa tahun 2024 ini mereka akan memperoleh mandat dari rakyat. DPR dan DPD akan diambil sumpah/janji jabatannya tanggal 1 Oktober 2024, dan Presiden-Wakil Presiden akan diambil sumpah/janji jabatanya tanggal 20 Oktober 2024.
Tentu saja, di arena kampanye saat ini, kita tidak menemukan wacana-wacana buruk yang menjadi bagian dari substansi kampanye mereka. Ketiga paslon Presiden-Wapres misalnya, semua bicara soal komitmennya untuk menghadirkan kehidupan yang lebih demokratis, penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, penyediaan lapangan kerja, peningkatan kesehatan dan kesejahteraan dan wacana-wacana mulia lainnya.
Tetapi dengan wacana kritis yang terus hidup, dihidupkan oleh nalar sehat dan sikap-sikap obyektif untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara, gagasan dan agenda program mereka bisa dibaca secara kritis. Bacaan inilah yang memungkinkan kekeliruan merumuskan asumsi-asumsi, cara berpikir, tawaran agenda dan program serta cara pencapaian yang bakal ditempuh ditemukan.
Boleh jadi hasil uji kritis tidak menemukan banyak sisi lemah dari visi, misi dan gagasan-gagasan programatik para kandidat. Semua item mendekati sempurna dirumuskan : komprehensif, koheren dan sinergis, terukur dan realistis, sesuai kebutuhan kekinian sekaligus visioner.
Tetapi kita tahu belaka, dalam sejarah peradaban kekuasaan politik, tidak banyak rezim, bahkan rezim hasil Pemilu yang paling demokratis sekalipun, yang memiliki kearifan paripurna, keajegan menjaga janji, dan konsistensi memegang komitmen politik yang mereka ucapkan saat membutuhkan dukungan rakyat.
Buku populer hasil riset dua professor Universitas Harvard, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, How Democracies Die (2018) secara lugas dan tuntas menjelaskan fenomena kemunduruan bahkan kematian demokrasi di tangan rezim elektoral yang bertransformasi menjadi penguasa-penguasa otoriter. Salah satu fase menuju transformasi kematian demokrasi ini adalah dengan menindas dan melemahkan kekuatan-kekuatan oposisional.
Mungkinkah situasi demikian bisa terjadi di Indonesia setelah pemerintahan baru hasil Pemilu dilantik dan definitif berkuasa? Inilah justru yang diingatkan Levitsky dan Ziblatt. Hasil risetnya menunjukkan bahwa fenomena ini tengah berlangsung di berbagai negara demokrasi di abad 20 dan 21 ini.
Jika mau jujur, dalam lanskap kepolitikan mutakhir Indonesia, kematian kekuatan oposisional terutama di parlemen sesungguhnya sudah terasa dalam beberapa tahun terakhir di era kedua pemerintahan Jokowi-Ma'ruf. Kematian ini ditandai dengan merosotnya kualitas demokrasi sebagai ajang pertukaran dialektis pikiran dan aspirasi di satu sisi, dan menguatnya kecenderungan watak otoritarianisme dalam pemerintahan di sisi yang lain.
Wacana kritis yang terus hidup, dihidupkan oleh nalar sehat dan sikap-sikap obyektif untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara, sekurang-kurangnya dapat menghambat proses rekonsolidasi kekuatan-kekuatan berwatak otoritarian untuk kembali naik panggung dan berkuasa.
Sejarah memang tidak berulang, demikian para bijak mendalilkan. Tetapi dari sejarah kita bisa belajar bagaimana melindungi demokrasi dan keselamatan negara ini dari rezim otoritarian. Dan salah satu kuncinya adalah dengan merawat dan menghidupkan terus wacana kritis di tengah publik, di hadapan banalitas operasi kekuasaan.
Selamat Tahun Baru 2024. Mari sambut keberlanjutan untuk capaian-capaian yang sudah baik, dan mari gaungkan perubahan dan perbaikan untuk capaian-capaian yang belum sesuai harapan.