Kemarin umat Nasrani baru saja merayakan hari Natal. Fenomena siklis tahunan kembali hadir di berbagai platform pemberitaan serta ruang-ruang percakapan dan diskusi tentang pentingnya menghidupkan terus semangat moderasi dan toleransi beragama. Pesan yang baik tentu saja.
Dalam masyarakat yang super-majemuk seperti Indonesia, multi-ras, multi-etnik, multi-kultural, terutama masyarakat multi-iman, semangat moderasi dan toleransi beragama memang harus terus dihidupkan. Bahkan, mestinya bukan hanya pada momen-momen perayaan hari keagaman, tetapi saban hari, setiap waktu. Dan tentu saja bukan hanya verbal, tetapi juga praksis.
Mengapa demikian? Karena tidak ada pilihan lain. Moderasi beragama dan  toleransi yang menyertainya dalam masyarakat multi-iman/agama (multi-faith society), merupakan pilihan tunggal sebagai prasyarat membangun dan mewujudkan tatanan sosial yang harmoni dan menghadirkan bangunan masyarakat yang saling berkoeksistensi dengan damai dan indah meski dalam realitas perbedaan yang sangat mendasar.
Â
Secara etimologis istilah moderasi berasal dari kata "moderation", artinya "jalan tengah, sikap tengah, sikap tidak berlebihan". Dalam suatu diskusi atau debat kita mengenal Moderator, yakni orang yang menengahi tukar menukar pandangan atau gagasan dalam diskusi atau perdebatan dengan cara adil, tidak memihak, persis berada di tengah di antara peserta diskusi dan menengahi pembahasan atau perdebatan.
Dalam konteks kehidupan beragama, para ahli memaknai istilah Moderasi sebagai cara beragama dengan moderat, cara menjalani kehidupan agama yang tidak berlebihan dan menjurus ke titik ekstrim.
Dalam Al Qura'an, pesan Illahiyah tentang moderasi beragama ini tertuang dalam Surat Al-Baqarah ayat 143 : "Dan demikian (pula) Kami menjadikan kamu (umat Islam) sebagai ummatan wasathan (umat yang adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan manusia) dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu...".
Frasa ummatan wasathan dalam ayat tersebut mengandung arti sebagai sikap pertengahan atau moderat (tawasuth), jalan tengah, serta seimbang di antara dua kutub ekstrim.Â
Tetapi penting pula untuk segera dikemukakan agar tidak keliru mamahami. Moderasi Beragama bukanlah moderasi agama. Moderasi beragama adalah soal pendekatan, metode atau cara. Dalam hal ini, sekali lagi, adalah cara menjalankan agama yang moderat.Â