Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama I Nominee Kompasiana Award 2024 - Best in Opinion

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hari Ibu, Momentum Melepas Perangkap Patriarki

22 Desember 2023   19:30 Diperbarui: 24 Desember 2023   07:09 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada Pemilu 1999 silam berkembang kencang wacana bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin, syariat agama melarangnya. Sebagian ulama atau cendekiawan muslim, baik klasik, modern maupun kontempor memang ada yang memiliki pandangan serupa ini. Tetap semua orang tahu belaka, wacana tersebut kala itu dihembuskan lebih semata-mata untuk menghadang peluang Megawati menjadi Presiden.

Melalui pemilihan yang masih dilakukan oleh MPR saat itu, Megawati akhirnya memang hanya terpilih menjadi Wakil Presiden, padahal partainya, PDIP merupakan pemenang Pemilu 1999. Presiden terpilih adalah almaghfurlah KH. Abdurahman Wahid.

Menariknya kemudian, ketika Gus Dur dipaksa lengser oleh MPR, para politisi Islam berbalik arah mendukung Megawati sebagai penggantinya. Hanya saja, dukungan itu tidak disertai dengan pengakuan yang memadai perihal hak perempuan untuk menjadi pemimpin negara. Argumen yang dibangun di belakang dukungan itu adalah situasi "dhorurat" (darurat). Artinya, jika situasi dinilai normal, tidak darurat lagi, maka kepemimpinan perempuan di pentas politik bisa saja dipersoalkan kembali.

Penggalan kecil sejarah itu adalah gambaran otentik perihal budaya patriarki yang selama beradab-abad memosisikan perempuan dalam perangkap dominasi kultural dan praksisnya. Meski saat ini sudah ada kemajuan signifikan berkat gerakan pengarusutamaan gender (gender mainstreaming) yang mengarus deras dalam beberapa dekade terakhir, eksisting dan kiprah perempuan di ranah publik tetap saja masih menyisakan banyak "pekerjaan rumah".

Budaya yang diwariskan

Dalam diskursus akademik (lihat misalnya Sultana, 2010) terma "patriariki" lazim dimaknai sebagai "rule of the father". Pada awalnya frasa ini disematkan pada keluarga dimana segala peraturan di dalam keluarga itu ditentukan oleh suami (bagi istrinya) atau ayah (bagi anak-anaknya).

Tetapi dalam perkembangannya di era kontemporer ini, "patriarki" mengalami perluasan makna sebagai dominasi laki-laki dalam berbagai ranah kehidupan, yang oleh sebab dominasi itu kemudian menempatkan perempuan dalam posisi subordinat atau lebih rendah dari kaum laki-laki (Sakina, 2017). Dalam konteks ini patriarki sudah menjadi sistem sosial yang tidak berkeadilan terhadap perempuan.

Dalam pengertian adanya dominasi laki-laki atas perempuan, patriarki merupakan gejala universal. Hidup dan berkembang dalam mayoritas peradaban dunia. Hanya saja, setiap bangsa memiliki sejarah dan karakteristiknya sendiri-sendiri. Di Indonesia, berbagai hasil studi menyimpulkan, bahwa patriarki sudah menjadi budaya yang diwariskan secara turun temurun antar generasi. Diajarkan, ditanam-tumbuhkan dan dihidupkan di dalam keluarga. Ini sebabnya mengapa budaya patriarki menjadi sangat sukar dihilangkan, ia memerangkap perempuan secara berkepanjangan dalam situasi ketidakadilan.

 

Dampak buruk patriarki

Sebagai sistem sosial, patriarki telah melahirkan berbagai dampak buruk terhadap perempuan, yang pada akhirnya juga bekrontribusi negatif terhadap kehidupan sosial secara umum. Beberapa dampak itu seperti sudah sering didiskusikan dan diingatkan terutama oleh para pihak yang concern terhadap isu kesetaraan gender antara lain bisa ditelusuri melalui isu-isu berikut ini.    

Pertama, di depan telah disinggung bahwa konstruksi budaya patriarki menempatkan sedemikian rupa perempuan dalam posisi lebih rendah dari laki-laki. Perempuan hanya merupakan subordinat laki-laki. Dalam praktiknya gejala subordinasi ini telah menghidupkan persepsi yang keliru dan jauh dari prinsip kesetaraan dan rasa adil.

Subordinasi telah melahirkan praktik-praktik penomor-duaan perempuan dibandingkan laki-laki dalam berbagai lapangan kehidupan. Fakta-fakta ini dapat ditemui  baik dalam ruang lingkup domestik (keluarga dan rumah tangga), maupun dalam ruang lingkup publik (pekerjaan, aktifitas sosial kemasyarakatan, ranah politik dsb) ketika perempuan mencoba keluar dari area domestik yang memerangkap hidupnya.

Kedua, patriarki telah melahirkan isu domestikasi terhadap perempuan. Konsepsi ini berkenaan dengan pembagian peran antara laki-laki dan perempuan secara rigid. Laki-laki sebagai kepala rumah tangga diberikan keleluasaan untuk beraktifitas di sektor-sektor publik. Sementara perempuan hanya diberikan ruang-ruang domestik rumah tangga, yang meliputi pengasuhan, pelayanan, dan perawatan rumah tangga.

Dalam tradisi masyarakat Jawa dikenal sebutan kanca wingking (teman di belakang) dan tiga tugas pokok perempuan, yakni macak, manak, masak (Wijanarko, 2017) Tidak jauh berbeda dengan tradisi yang berlaku dalam masyarakat Sunda, yang bahkan kerap menjadi lelucon yang cenderung merendahkan martabat perempuan. Bahwa tugas pokok perempuan itu hanya "tiga-Ur": Kasur, Dapur, Sumur.

Dari cara pandang domestikasi inilah kemudian lahir berbagai bentuk ketidakadilan (diskriminasi) terhadap perempuan. Berbeda dengan laki-laki, dalam konstruksi domestikasi ini kesempatan perempuan untuk mengembangkan minat dan bakat pribadi misalnya menjadi sangat terbatas jika tidak tertutup sama sekali.

Ketiga, dalam budaya patriarki juga berkembang stereotipisasi yang kerap sangat merendahkan dignity kaum perempuan sebagai sesama manusia yang sejatinya memiliki kedudukan yang sama. Stereotipisasi adalah pelabelan berbasis gender secara tendensius dan berwatak negatif terhadap perempuan.

Salah satu bentuk yang paling kasar dari stereotipisasi terhadap perempuan lagi-lagi bermuara pada esensi patriarki, yakni dominasi laki-laki atas kaum perempuan. Dalam konteks ini perempuan misalnya sering dilabeli sebagai kurang rasional, lebih mengandalkan emosi ketimbang nalar sehat, makhluk yang serba lemah. Dan karena itu semua maka perempuan memang sudah sepantasnya menjadi subordinat laki-laki, sudah selayaknya pula cukup hidup di area domestik keluarga.

Dalam skala kasus yang lebih luas, stereotipisasi ini diyakini juga menjadi pemicu tumbuhnya berbagai perlakuan buruk terhadap perempuan, baik di dalam institusi keluarga maupun di ranah sosial. Kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga, penegasian terhadap kemerdekaan pribadinya sebagai manusia, pelecehan seksual dan perundungan di area-area publik dan sejenisnya merupakan dampak nyata dari tradisi buruk mempersepsikan perempuan sebagai warga masyarakat kelas dua.

Hari ini 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu. Momen ini diambil dari salah satu peristiwa sejarah yang sangat penting dalam lanskap perjalanan sejarah kebangsaan Indonesia. Yakni  Kongres Perempuan I yang dilaksanakan tanggal 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta.  Peristiwa yang mengawali bangkitnya kesadaran kaum perempuan akan hak-haknya sebagai manusia yang selama berabad-abad terperangkap dalam budaya patriarki bangsanya sendiri.

Momentum Hari Ibu ini penting untuk terus merawat kesadaran tentang hak-hak perempuan, sekaligus untuk menghidupkan terus semangat membangun dan menghadirkan kesetaraan dan keadilan gender untuk perempuan-perempuan Indonesia. Selamat Hari Ibu. Maju dan Sejahtera untuk Ibu-Ibu di seluruh Nusantara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun