Pada Pemilu 1999 silam berkembang kencang wacana bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin, syariat agama melarangnya. Sebagian ulama atau cendekiawan muslim, baik klasik, modern maupun kontempor memang ada yang memiliki pandangan serupa ini. Tetap semua orang tahu belaka, wacana tersebut kala itu dihembuskan lebih semata-mata untuk menghadang peluang Megawati menjadi Presiden.
Melalui pemilihan yang masih dilakukan oleh MPR saat itu, Megawati akhirnya memang hanya terpilih menjadi Wakil Presiden, padahal partainya, PDIP merupakan pemenang Pemilu 1999. Presiden terpilih adalah almaghfurlah KH. Abdurahman Wahid.
Menariknya kemudian, ketika Gus Dur dipaksa lengser oleh MPR, para politisi Islam berbalik arah mendukung Megawati sebagai penggantinya. Hanya saja, dukungan itu tidak disertai dengan pengakuan yang memadai perihal hak perempuan untuk menjadi pemimpin negara. Argumen yang dibangun di belakang dukungan itu adalah situasi "dhorurat" (darurat). Artinya, jika situasi dinilai normal, tidak darurat lagi, maka kepemimpinan perempuan di pentas politik bisa saja dipersoalkan kembali.
Penggalan kecil sejarah itu adalah gambaran otentik perihal budaya patriarki yang selama beradab-abad memosisikan perempuan dalam perangkap dominasi kultural dan praksisnya. Meski saat ini sudah ada kemajuan signifikan berkat gerakan pengarusutamaan gender (gender mainstreaming) yang mengarus deras dalam beberapa dekade terakhir, eksisting dan kiprah perempuan di ranah publik tetap saja masih menyisakan banyak "pekerjaan rumah".
Budaya yang diwariskan
Dalam diskursus akademik (lihat misalnya Sultana, 2010) terma "patriariki" lazim dimaknai sebagai "rule of the father". Pada awalnya frasa ini disematkan pada keluarga dimana segala peraturan di dalam keluarga itu ditentukan oleh suami (bagi istrinya) atau ayah (bagi anak-anaknya).
Tetapi dalam perkembangannya di era kontemporer ini, "patriarki" mengalami perluasan makna sebagai dominasi laki-laki dalam berbagai ranah kehidupan, yang oleh sebab dominasi itu kemudian menempatkan perempuan dalam posisi subordinat atau lebih rendah dari kaum laki-laki (Sakina, 2017). Dalam konteks ini patriarki sudah menjadi sistem sosial yang tidak berkeadilan terhadap perempuan.
Dalam pengertian adanya dominasi laki-laki atas perempuan, patriarki merupakan gejala universal. Hidup dan berkembang dalam mayoritas peradaban dunia. Hanya saja, setiap bangsa memiliki sejarah dan karakteristiknya sendiri-sendiri. Di Indonesia, berbagai hasil studi menyimpulkan, bahwa patriarki sudah menjadi budaya yang diwariskan secara turun temurun antar generasi. Diajarkan, ditanam-tumbuhkan dan dihidupkan di dalam keluarga. Ini sebabnya mengapa budaya patriarki menjadi sangat sukar dihilangkan, ia memerangkap perempuan secara berkepanjangan dalam situasi ketidakadilan.
Â
Dampak buruk patriarki