Menarik apa yang dipublikasikan Litbang Kompas terkait pemilih bimbang (undecided votres) yang jumlahnya bahkan melampaui prosentase elektabilitas dua kubu Paslon Anies-Cak Imin (16,7%) dan Ganjar-Mahfud (15,3%). Angka itu sebesar 28,7 %. Padahal Pemilu tinggal dalam hitungan pekan.
Siapa undecided voters itu, mengapa mereka bimbang, dan akan kemana suara-suara bimbang itu secara potensial bakal berlabuh pada tanggal 14 Februari 2024 nanti?
Siapa mereka?
Dalam penjelasan hasil sigi itu, Litbang Kompas mengungkapkan bahwa sebagian besar pemilih bimbang ini teridentifikasi sebagai pemilih Jokowi-Ma'ruf Amin pada Pilpres 2019 silam. Selain itu, di antara mereka juga merupakan kelompok pemilih yang tidak memiliki ikatan ideologis maupun emosional dengan capres maupun cawapres tertentu (CNNIndonesia, 12/12).
Jika dirasionalisasi penjelasan tersebut masuk akal karena tiga argumen berikut. Pertama, dinamika politik elektoral telah berkembang sedemikian rupa dan menghasilkan konstelasi pembelahan (polaritas) pendukung pemerintahan Jokowi-Ma'ruf ke dalam dua kubu : Ganjar-Mahfud dan Prabowo-Gibran. Baik di partai politik maupun di kelompok relawan.
Secara hipotetik pembelahan itu bukan saja mengakibatkan terbelahnya juga pemilih dan pendukung pemerintahan Jokowi-Ma'ruf kepada dua poros "keberlanjutan" tadi. Melainkan juga memicu lahirnya para pemilih bimbang yang boleh jadi dibarengi  dengan sentimen negatif karena ambrolnya soliditas Jokowi dengan inner cyrcle-nya oleh sebab ambisi kuasa antar faksi di koalisi pemerintahan.  Â
Kedua, di antara pemilih dan pendukung fanatik Jokowi-Ma'ruf maupun pemilih militan Prabowo-Sandiaga di Pemilu 2019 silam sesungguhnya juga banyak pemilih yang masuk dalam kategori floating mass (massa mengambang).Â
Mereka adalah pemilih yang tidak memiliki ikatan ideologis maupun emosional kala itu dengan capres dan cawapres manapun. Pilihan mereka terhadap Jokowi-Ma'ruf atau Prabowo-Sandiaga saat itu lebih bersifat spontan untuk pemilih yang mayoritas illiterate dan rasional untuk pemilih lilterate.
Pemilih illiterate lebih karena dorongan suasana psikologi-politik dan pemilih literate lebih karena gagasan-gagasan programatik yang ditawarkan masing-masing pasangan capres-cawapres. Angka 28,7% pemilih yang saat ini masih mengambang tadi boleh jadi berasal dari kelompok floating mass ini.
Ketiga, di luar temuan Litbang Kompas, tingginya angka undecided voters itu juga hemat saya disumbang oleh sebagian pemilih Prabowo-Sandiaga di Pemilu 2019 lalu.Â
Secara hipotetik mereka adalah pemilih militan yang kecewa dengan langkah politik Prabowo pasca Pilpres yang kemudian memilih bergabung dengan pemerintahan Jokowi-Ma'ruf. Saat ini mereka sudah memutuskan tidak akan ikut Prabowo lagi, tetapi juga masih ragu kepada siapa suara mereka nanti akan diberikan. Kehadiran Anies-Cak Imin yang diprediksi bakal menjadi tempat berlabuh suara mereka nampaknyan belum cukup meyakinkan sebagai opsi alternatif.
Faktor PemicuÂ
Lantas, latar belakang atau faktor apa yang secara hipotetik membuat sejumlah 28,7% pemilih (ini artinya setara dengan jumlah kurang-lebih 57 jutaan dari 204 jutaan pemilih dalam DPT 2024) itu masih bimbang hingga beberapa pekan menjelang pencoblosan ?
Pertama, saya menduga kebimbangan para pemilih ini dipicu antara lain oleh adanya sejumlah anomali dalam perhelatan Pilpres 2024 ini. Mulai dari kasus putusan MK Nomor 90 yang terbukti kemudian disertai dengan terjadinya pelanggaran berat etik Ketuanya.Â
Kemudian munculnya polarisasi di tubuh pemerintahan Jokowi-Ma'ruf ke dalam dua kubu yang saling berhadapan tetapi tidak disertai dengan sikap tegas kubu Ganjar-Mahfud-PDIP dan koalisinya. Dan mulai merebaknya isu-isu keberpihakan aparatur pemerintah terhadap pasangan Prabowo-Gibran yang didukung Presiden Jokowi.
Ketiga bentuk anomali itu saya kira telah memicu keraguan banyak pemilih rasional dan literate terhadap integritas proses dan hasil Pilpres nanti. Mereka berpikir bahwa suaranya tidak akan bermakna karena potensi manipulatif dalam proses dan potensi unlegitimate (paling tidak secara moral) dalam hasil Pilpres mendatang. Dalam konteks ini, bimbang adalah sebuah pilihan sadar.
Kedua, besarnya prosentase angka undecided voters nampaknya juga dipicu oleh gejala infodemi electoral atau "wabah informasi kepemiluan". Suatu fenomena dimana informasi-informasi seputar kepemiluan mengarus deras dan melimpah (overload of information) di ruang publik dengan tingkat akurasi yang rendah.Â
Karena berita-berita itu tidak hanya diproduksi oleh media-media kredibel, tetapi juga oleh portal-portal berita atau para pembuat konten media sosial yang sangat longgar dan gegabah.
Gejala infodemi serupa itu membuat konten-konten berita dan informasi seputar kepemiluan banyak yang kemudian tidak ajeg, inkonsisten, bahkan saling bertabrakan.Â
Termasuk dalam gejala ini adalah informasi hasil-hasil survei yang beberapa di antaranya ada yang saling menegasikan, atau pemeringkatan hasil survei yang paradoks dengan tayangan massa melimpah saat paslon capres-cawapres turun ke daerah. Gejala ini membuat puluhan juta pemilih masih bimbang menentukan pilihan.
Ke mana Undecided Voters bakal berlabuh?
Bertolak dari analisis kombinasi hasil sigi Litbang Kompas dan elaborasi kualitatif  perihal siapa undecided voters di atas, dugaan saya pasangan paling potensial yang bakal memperoleh limpahan suara-suara undecided voters itu adalah pasangan Anies-Cak Imin. Berikut argumentasinya.
Pertama, para pemilih bimbang itu sebagian besar adalah pemilih Jokowi-Ma'ruf di Pemilu 2019 yang kehilangan kepercayaan atau setidaknya memicu keraguan mereka oleh sebab beberapa anomali pemilu yang semua faktor penyebabnya terkait dengan pemerintahan Jokowi saat ini. Keraguan ini akan mendorong mereka pada akhirnya untuk mengalihkan dukungan kepada paslon yang tidak didukung oleh Jokowi.
Lantas mengapa potensial bakal ke Anies-Cak Imin, dan bukan ke Ganjar-Mahfud? Â Karena Anies-Cak Imin dianggap clear dari kasus-kasus pemicu anomali tadi selain sejak awal telah memposisikan diri sebagai antitesa Jokowi. Sementara Ganjar-Mahfud masih terkait dengan salah satu pemicu munculnya anomali, yakni ketidak-tegasannya mengambil posisi politik terhadap pemerintahan Jokowi.
Kedua, para pemilih bimbang itu adalah floating mass yang tidak memiliki afiliasi politik yang kuat dengan paslon manapun. Dalam konteks ini, saya melihat positioning politik elektoral Anies-Cak Imin yang lugas sebagai antitesa Jokowi akan menjadi opsi alternatif yang lebih menarik bagi undecided voters ketimbang Ganjar-Mahfud yang peragu.
Ketiga, undecided voters itu sebagiannya juga merupakan pemilih yang kecewa dengan langkah politik Prabowo pasca kekalahannya di Pemilu 2019, lalu tidak tahan jadi oposisi (meminjam frasa Anies dalam Debat Capres kemarin) dan memilih bergabung ke dalam pemerintahan.
Seperti ditemukan dalam banyak hasil survei, secara elektoral (dengan basis analisis sosio-kultural terutama) pemilih Prabowo dulu memiliki irisan yang kuat dengan karakteristik pemilih Anies-Cak Imin saat ini. Dengan asumsi ini, maka pemilih Prabowo yang kecewa tadi jelas akan lebih memilih Anies-Cak Imin ketimbang Ganjar-Mahfud.
Tentu saja, ini semua hanya kalkulasi prediktif dengan menimbang sedikit variabel dalam analisisnya. Masih ada sejumlah variabel dan sejumlah catatan prasyarat yang bisa saja memengaruhi pilihan ke arah mana pemilih bimbang itu melabuhkan suaranya. Â Misalnya strategi kampanye dan tawaran-tawaran gagasan programatik, khsusnya dalam debat sesi-sesi berikutnya.
Namun demikian, sekali lagi, peluang potensial meraih limpahan para pemilih bimbang itu nampaknya ada pada posisi Anies-Cak Imin. Masalahnya, apakah tim pemenangan AMIN bisa memaksimalkan potensi itu menjadi efektif atau tidak. Itu saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H