Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama I Nominee Kompasiana Award 2024 - Best in Opinion

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Pemilu 2024 dalam Sindrom Transisi Demokrasi

4 Desember 2023   00:52 Diperbarui: 5 Desember 2023   04:50 436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pemilu. (Dok Shutterstock via Kompas.com)

Dalam situasi ini, proses demokratisasi berada dalam kegamangan, hingga memicu hadirnya the stalemate (situasi kebuntuan) karena para elit yang berkuasa mengalami kelelahan oleh sebab perseturuan yang tak habis-habis dan berkepanjangan tadi.

Demikianlah, proses transisi menuju demokrasi akhirnya memasuki fase akhir, fase konsolidasi yang disebutnya dengan istilah the habituation phase. Di fase ini terjadi tawar-menawar, kompromi-kompromi antar faksi atau kelompok yang berseteru.

Poin penting dalam kerangka transisi ini, bahwa sejumlah negara gagal melewati fase stalemate, gagal mencapai kompromi dan habituation phase hingga proses transisi menjadi tidak jelas arahnya, setback. Dan akhirnya tak jarang kemudian justru menghadirkan otoritarianisme baru.

www.ngopibareng.id
www.ngopibareng.id

Paradoks Demokratisasi

Dalam pola dasar yang sama, meski dengan ekspresi kasus yang beragam, sindrom transisi demokrasi di Indonesia juga menunjukkan gejala yang tidak jauh berbeda. 

Pemilu misalnya sebagai salah satu instrumen penting sekaligus penanda paling asertif dari proses demokratisasi, memang telah berhasil digelar dan berlangsung dengan relatif baik.

Kekuatan-kekuatan non-demokratik seperti militer berhasil direposisi pada lokus yang seharusnya. Partisipasi politik rakyat terus meningkat dari waktu ke waktu. Bahkan, otonomi lokal berhasil diperluas untuk memastikan rakyat di daerah berperan efektif dan determinatif mengurus daerahnya sendiri-sendiri.

Akan tetapi di sisi capaian keberhasilan-keberhasilan itu, sepanjang lebih dari dua dekade pasca orde baru ini sesungguhnya juga terus hadir sejumlah problematika sosio-politik, deretan paradoks yang menyertai perjalanan transisi demokrasi sekaligus potensial dapat merusak capaian-capaian prestatif yang telah ditorehkan.

Mulai dari fenomena dominasi local strongman dan local boss, praktik politik transaksional, politisasi identitas dan polarisasi berbasis primordialisme, serta hasrat memberi ruang kembali pada kekuatan politik non-demokratik (militer). 

Hingga yang terbaru dan paling riuh diperbincangkan belakangan ini. Yakni gejala bengkitnya politik dinasti di level nasional, hidupnya kembali praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme, serta dominasi oligarki di panggung kekuasaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun