Tentu saja sangat kritis. Pertama, kebocoran data DPT ini mengindikasikan KPU RI lalai menjaga kedaulatan data. Suatu kelalaian yang dengan mudah dapat memicu melorotnya kepercayaan publik, baik terhadap kelembagaan KPU sendiri sebagai penyelenggara maupun terhadap proses dan hasil Pemilu pada akhirnya nanti.
Terlebi lagi "kelakuan Jimbo" ini terjadi di tengah situasi kontestasi yang sedang hangat dan nampaknya akan memanas dalam beberapa hari kedepan sepanjang masa kampanye berlangsung.
Kedua, data DPT yang berhasil dibobol dan kini bahkan sedang ditawarkan melalui situs jual beli data curian, BreachForums itu potensial bisa disalahgunakan untuk kepentingan politik elektoral para pihak yang berkontestasi. Terutama jika KPU menggunakan perangkat teknologi digital dalam proses dan tahapan penghitungan (e-count, Situng), rekapitulasi (e-recapitulation, Sirekap) dan penetapan hasilnya nanti. Â Â
Data hasil penghitungan dan rekapitulasi digital itu dengan mudah bisa didistorsi atau diubah demikian rupa sesuai kepentingan "penguasa data". Dalam konteks ini, publik tentu boleh membayangkan dan khawatir. Misalnya si Jimbo itu ditemukan orangnya, lalu dengan motiv ekonomi dia jual kemampuan canggih IT-nya dalam mendistorsi angka-angka hasil hitung dan hasil rekap suara kepada, entah siapa nanti. Maka cilaka duabelaslah Pemilu kita.
Apa yang Harus Dilakukan?
Sekarang dan kedepan, apa yang harus dilakukan? Pertama, KPU harus dengan supersigap menelusuri kasus kebocoran data ini, dan ini nampaknya sudah mulai dilakukan. Tentu saja, hasil penelusuran kasusnya nanti wajib dibuka kepada publik. Ini penting untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap KPU serta proses dan hasil Pemilu nanti.
Kedua, jika terbukti akurat bahwa data yang dibobol Jimbo itu adalah data DPT Pemilu 2024, KPU memiliki dua opsi untuk dilakukan. Jika akan tetap menggunakan perangkat teknologi digital (meski sekedar alat bantu dalam proses penghitungan dan rekapitulasi suara nanti) KPU harus memastikan bahwa sistem dan perangkatnya benar-benar aman dari upaya peretasan hacker paling canggih sekalipun.
Tetapi jika tidak dapat menjamin aspek keamanan sibernya, saya kira KPU lebih baik memilih untuk menghentikan penggunaan teknologi digital. Tidak perlu gengsi, tak perlu juga merasa bahwa Pemilu kita jadul. Kedaulatan data dan hasil Pemilu yang berintegritas jauh lebih penting dibandingkan sekedar, misalnya "keren-kerenan" berteknologi canggih dalam Pemilu.
Ketiga, para kontestan baik Capres maupun Partai Politik dan Calon DPD saya kira perlu segera menyiapkan tim siber supercanggih masing-masing untuk menghadapi potensi-potensi kecurangan berbasis teknologi digital yang merugikan kepentingan masing-masing kubu. Ini penting sebagai alat kontrol bersama untuk memastikan proses Pemilu aman dari kejahatan siber dan hasilnya dapat dipercaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H