Hari ini (13/11) KPU menetapkan bakal pasangan Capres-Cawapres menjadi Pasangan Calon Capres dan Cawapres Pemilu 2024. Besok (14/11), jika tidak ada aral melintang, ketiga paslon yang ditetapkan hari ini bakal mendapat nomor hasil undian.
Dua agenda tahapan hari ini dan besok itu menandai bahwa Pemilu 2024 akan segera memasuki fase kontestasi yang sesungguhnya, yakni masa kampanye, saat di mana para kontestan akan bekerja ekstra keras menawarkan visi dan misi program untuk meraih simpati pemilih.
Di sisi lain, di ruang publik elektoral yang sama, suasana konflik antar kubu dan elemen-elemen pendukungnya terus memanas. Khususnya antara kubu Ganjar-DPIP dan partai-partai koalisinya vis-a-vis kubu Prabowo-KIM, yang masing-masing memiliki pendukungnya sendiri-sendiri baik di akar rumput maupun di media sosial.
Konflik jelang penetapan paslon dan masa kampanye ini disertai pula oleh kekecewaan publik, terutama dari kalangan civil society (akademisi, pegiat pemilu, elemen ormas, tokoh masyarakat, bahkan juga warganet yang kritis di berbagai platform media digital).Â
Sumber konflik, semua orang nampaknya sudah tahu persis, yakni putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 mengenai usia capres-cawapres. Â
Berkaca pada pemilu-pemilu sebelumnya di era reformasi, konflik yang terjadi saat  ini memang unik, baru pertama kali terjadi. Konflik dipicu oleh salah satu norma dalam UU Pemilu yang digugat, yang putusannya kemudian dipersoalkan dan dikritisi habis-habisan oleh kelompok-kelompok yang merasa dirugikan. Namun sebaliknya didukung habis-habisan pula oleh kelompok-kelompok yang secara  elektoral diuntungkan.
Sikap bijak masyarakat
Lantas apa yang harus dilakukan masyarakat pemilih di tengah situasi konflik antar kubu kontestan dan protes keras kalangan civil society tadi? Karena, ada atau tidak konflik serupa ini, Pemilu tetap akan dan harus berlangsung. Â
Masyarakat penting diedukasi atau mengedukasi diri dengan berbagai wawasan kenegaraan, demokrasi dan kepemiluan. Dalam konteks ini masyarakat harus melihat konflik yang sedang berlangsung sebagai bagian dari dinamika kehidupan politik dalam tradisi masyarakat demokrasi. Terlebih lagi konflik ini terjadi dalam kerangka perhelatan elektoral.
Masyarakat juga penting menyadari, bahwa pemilu itu sendiri sejatinya merupakan arena konflik. Konflik yang dilegalkan oleh peraturan perundang-undangan karena dalam tradisi demokrasi tidak ada cara dan mekanisme lain untuk memilih pemimpin dan merotasinya secara berkala kecuali melalui ajang kontestasi.Â