Kegaduhan elektoral yang dipicu pada mulanya oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait usia Capres-Cawapres nampaknya akan terus membiak dan berkepanjangan. Sejumlah indikasi awal terus bermunculan, berebut panggung untuk mendapat perhatian.
Dimulai dari pengaduan semua hakim konstitusi atas dugaan pelanggaran etik. Majelis Kehormatan MK yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara ini kemudian memutuskan : Ketua MK, Anwar Usman terbukti melakukan pelanggaran berat etik sebagai hakim konstitusi. Anwar dicopot dari jabatannya sebagai Ketua MK.
Putusan MKMK yang diharapkan akan mengakhiri kontroversi, atau setidaknya mengurangi kegaduhan ternyata jauh panggang dari api. Anwar marah besar. Merasa dibunuh karakternya, dilumatkan martabat dan harga dirinya. Di sisi politiknya perdebatan kian meruncing sekaligus melebar. Kubu KIM menuduh ada pihak-pihak yang bernafsu menjegal Gibran.
Tidak berselang lama, sekelompok pengacara mengadukan Prof. Jimly Ashiddiqie (Ketua MKMK) dengan dugaan pelanggaran etik pula. Dan pada saat yang sama, sejumlah pihak kembali mengajukan judicial review atas perkara yang sama, yakni mengenai usia Capres-Cawapres ke MK yang kali ini sudah dipimpin duet Prof. Suhartoyo (Ketua) dan Prof. Saldi Isra (Wakil Ketua).
Satu lagi, masih dari muasal "biangkerok" yang sama, KPU RI digugat, tak tanggung 70,5 trilyun. Dasar gugatan adalah dugaan perbuatan melawan hukum lantaran menerima pendaftaran Bacapres Prabowo-Gibran sementara PKPU tentang Pencalonan belum direvisi sesuai putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Pemilu jadi gak asyik
Pemilu kita jadi gak asyik. Masih di fase kandidasi sudah gaduh, berisik tiada terkira. Konyolnya bukan oleh pertengkaran ide atau kemeriahan festival gagasan. Melainkan oleh sebab persoalan hukum dan problematika moral yang keduanya bermula dari putusan MK tadi.
Agak khawatir membayangkan seandainya persoalan hukum dan urusan moralitas yang menyertai fase kandidasi ini tak selesai sebelum masa kampanye dimulai akhir November nanti.
Pertama, pertengkaran dan kegaduhan potensial bakal semakin ramai dan menegangkan. Isu karut marut hukum dan keadilan Pemilu, serta isu a-moralitas yang disematkan kepada paslon Prabowo-Gibran nampaknya bakal terus digoreng dan dikapitalisasi oleh lawan-lawan politiknya. Terutama di level akar rumput masing-masing kubu pendukung. Tentu saja, kubu Prabowo-Gibran bakal bereaksi. Ramai.
Kedua, dengan demikian arena kampanye boleh jadi akan lebih banyak disesaki oleh isu dan tema-tema non-programatik. Masing-masing kubu akan sibuk saling mengkapitalisasi isu-isu negatif pada lawan politiknya dan menjadikannya sebagai peluru untuk saling menyerang. Â
Ketiga, ini yang kemudian lebih menghawatirkan lagi. Putusan MK yang dianggap cacat secara hukum serta pencalonan Gibran sebagai Cawapres dianggap cacat secara moral dan sama sekali tak tuntas, bisa saja memancing sisi gelap pikiran lawan-lawan politiknya untuk melakukan tindakn-tindakan nir-keadaban, ketakpatuhan pada peraturan perundangan Pemilu.
Akhirnya, semua kubu terjerumus pada politik Machiavellian yang berbahaya. Karena setiap norma (kewajiban atau larangan) akan disiasati demikian rupa untuk semata-mata demi kepentingan atau keuntungan elektoral masing-masing kubu. Pemilu dengan demikian menjadi hajat demokrasi yang minus keadaban.
Pemilu minus keadaban
Pemilu minus keadaban adalah pemilu yang tidak lagi mengindahkan peraturan perundangan, menisbikan regulasi dan berbagai ketentuan. Sekaligus pada akhirnya juga mengesampingkan prinsip-prinsip koeksistensi dan kohesivitas sosial, kesediaan untuk hidup bersama dan bekerjasama dalam suasana damai dan harmoni.
Ketiadaan komitmen keadaban yang demikian akan menjadikan Pemilu bukan lagi sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat, sebagai arena kontestasi gagasan dan festival ide-ide visioner dan programatik untuk masa depan bangsa dan negara. Melainkan sebagai ajang untuk saling menyerang dan menyakiti. Pemilu yang demikian jelas potensial menghancurkan integrasi kebangsaan.
Meminjam ulasan Reza AA. Wattimena (Rumah Filsafat, 2010), keadaban publik dibentuk melalui tiga unsur, yakni keinginan untuk hidup bersama, empati, dan kepatuhan pada aturan yang adil. Tanpa ketiga hal ini, keadaban publik tidak akan tercipta. Tanpa keadaban publik hidup bersama akan terasa menyakitkan. Kegelisahan dan konflik sosial akan menjadi bagian dari rutinitas warga.
Demikian pula halnya dengan Pemilu sebagai aktifitas publik untuk merotasi kekuasaan secara tertib, memilih pemimpin dengan cara memberinya mandat memerintah. Tanpa dialasi ketiga unsur keadaban itu, Pemilu hanya akan menjadi ruang kontestasi yang pengap, panas dan saling menyakiti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H