politik dinasti. Isu ini tentu saja disematkan pada Jokowi. Di penghujung  tahun pemerintahannya Jokowi dinilai menyiapkan bangunan dinasti politik yang dalam pandangan para ahli dan pegiat pro demokrasi merupakan sebuah cacat politik.  Â
Lompatan besar Gibran dari posisi Walikota yang baru akan separuh jalan ke posisi bakal Cawapres Pemilu 2024 telah memantik isu panasIsu dinasti politik sebetulnya bukan sesuatu yang baru. Isu ini sudah muncul di aras lokal pasca berakhirnya rezim orde baru dan Indonesia memasuki era demokratisasi yang dibarengi dengan implementasi otonomi daerah sejak tahun 2001. Gejalanya kemudian menguat di sejumlah daerah dalam dua dekade terakhir terutama sejak penyelenggaraan Pilkada dilaksanakan secara langsung mulai tahun 2005.
Perspektif akademik
Sebagai sebuah obyek studi, kajian mengenai dinasti politik telah banyak dilakukan para ilmuwan politik di berbagai negara. Beberapa peneliti yang tulisannya banyak dirujuk antara lain Pablo Querubin, Mark R. Thompson, Ernesto Dal Bo, Jason Snyder, Alfred W. McCoy, Donn M. Kurtz, Yasushi Asako, dan Stephen Hess.
Pada umumnya posisi kajian mengenai isu dinasti politik ini berada dalam konteks perbincangan mengenai politik kekerabatan (keluarga) sebagaimana dapat dibaca dalam cara bagaimana para ahli itu mendefinisikan dinasti politik.
Querubin (2010) misalnya mendefinisikan dinasti politik sebagai sejumlah kecil keluarga yang mendominasi distribusi kekuasaan dalam area geografis tertentu. Kemjudian Mark Thompson (2012) menjelaskan dinasti politik hanya sebagai jenis lain dari transisi (peralihan) kekuasaan politik, langsung maupun tidak langsung, yang melibatkan anggota keluarga.
Kedua definisi ini tidak jauh berbeda dengan yang dirumuskan Yasushi Asako dkk (2012) yang mendefinisikan dinasti politik secara sederhana sebagai sekelompok politisi yang mewarisi jabatan publik dari salah satu anggota keluarga mereka.
Kebangkitan dinasti politik, sebagaimana ditunjukkan oleh banyak hasil studi yang dilakukan para ahli di berbagai negara memang memiliki hubungan sangat erat dengan kepentingan keluarga atau politik kekerabatan. Kepentingan keluarga menjadi basis muasal pertumbuhan, perkembangan dan perluasan dinasti politik dalam suatu sistim politik demokrasi.
Dalam tradisi politik kekerabatan, anggota keluarga yang sudah menjadi penguasa atau menduduki jabatan publik pada umumnya akan melakukan praktik nepotisme dengan memberikan berbagai perlakuan istimewa kepada anggota keluarga atau kerabatnya. Bukan untuk menyejahterakan rakyat, melainkan dalam rangka membangun dan memperkuat jejaring kekuasannya.
 Dinasti Politik di aras lokal
Salah satu daerah dimana saya pernah melakukan penelitian langsung mengenai isu dinasti politik ini yang cukup menonjol misalnya adalah Banten.
Di Banten praktik dinasti politik bukan hanya berlangsung di tingkat provinsi, melainkan juga di hampir semua kabupaten dan kota (8 daerah otonom) di dalam Provinsi Banten, kecuali Kota Tangerang. Dan Pilkada langsung menjadi starting point sekaligus pintu masuk praktik dinasti politik di semua daerah tersebut.
Pada titik ini clear, bahwa kebangkitan dinasti politik yang menjadi kajian para ahli yang saat ini ramai diperbincangkan memang bersitemali dengan praksis demokrasi elektoral. Dinasti politik tidak serta merta terbentuk sebagai sebuah taken for granted, lahir begitu saja seperti diturunkan dari langit. Dinasti politik lahir dan bangkit justru dari rahim demokrasi yang belum sepenuhnya dewasa dan matang.
Melalui mekanisme demokrasi elektoral orang-orang kuat di daerah (local strongman) karena kontrolnya terhadap sumber daya dan jejaring lokal (organisasi, tokoh masyarakat, pebisnis dll) menyiapkan keluarga dan/atau kerabatnya untuk disertakan dalam Pilkada langsung.
Setelah terpilih, mereka mengonsolidasikan kekuatannya dengan menempatkan anggota keluarga, kerabat atau para loyalis yang dianggap sudah seperti menjadi bagian dari keluarganya di berbagai posisi. Mulai dari lingkungan birokrasi pemerintahan, sektor-sektor usaha, asosiasi-asosiasi bisnis rekanan Pemda (Kadinda, Gapensi dll), bahkan dalam berbagai organisasi olahraga, sosial dan seni budaya.
Dengan cara demikian dinasti politik kemudian mengalami gejala proliferasi (pembiakan) ke berbagai arena kehidupan sosial-ekonomi, bukan hanya dalam ranah politik. Simultan dengan strategi proliferasi ini mereka juga menyiapkan anggota keluarganya yang lebih muda untuk menjadi pengganti dan/atau menguasai daerah (lintas kabupaten dan kota) dan pos-pos strategis lain (lintas bidang aktifitas) dalam ruang lingkup daerahnya.
Itulah model yang umum terjadi di berbagai daerah (setidaknya di Banten yang pernah saya teliti), bagaimana dinasti politik lahir dan bangkit, kemudian membiakkan diri dan mampu mempertahankan kontrol atas praktik demokrasi prosedural yang memungkinkan bangunan dinasti politiknya bisa bertahan dalam waktu relatif panjang.
 Dampak burukÂ
Berdasarkan temuan-temuan riset, praktik dinasti politik di aras lokal telah menimbulkan berbagai ancaman problematis dalam kehidupan politik. Dalam kerangka konsolidasi demokrasi misalnya, praktik dinasti politik menegasikan salah satu prinsip dasar demokrasi, yakni kesetaraan politik. Dinasti politik juga praktis hanya akan memperkokoh gejala oligarkis yang berpotensi melemahkan mekanisme check and balance karena jabatan-jabatan politik dikuasai oleh satu keluarga.
Dalam pandangan Amich Alhumami (Gatra, 30 Maret 2016), politik kekerabatan atau dinasti politik tidak sesuai dengan prinsip meritokrasi. Sebab, proses rekrutmen didasarkan pada sentimen kekeluargaan, bukan kompetensi. Menurutnya, jika terus berlanjut, gejala ini bisa kontraproduktif bagi ikhtiar membangun sistem demokrasi modern.
Dominasi kekuasaan oleh sekelompok elit lokal atau keluarga yang demikian itu pada akhirnya akan menimbulkan kerawanan terjadiya berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan politik (abuse of power).
Dalam konteks ekonomi lokal, praktik dinasti politik juga dapat melahirkan kapitalisme klientilistik sebagai bagian dari kronisme, di mana pelaku investasi ekonomi tidak serta merta bebas melakukan aktivitasnya karena senantiasa dimintai upeti oleh kerabat kepala daerah.
Sementara Leo Agustino (2016) melihat, bahwa praktik dinasti politik di aras lokal memberi pengaruh buruk pada pembangunan sosial-politik dan sosial-ekonomi, karena peluang politik dan ekonomi setiap warga negara menjadi amat terbatas sebab dimonopoli oleh penguasa serta keluarga dan para kerabatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H