Di Banten praktik dinasti politik bukan hanya berlangsung di tingkat provinsi, melainkan juga di hampir semua kabupaten dan kota (8 daerah otonom) di dalam Provinsi Banten, kecuali Kota Tangerang. Dan Pilkada langsung menjadi starting point sekaligus pintu masuk praktik dinasti politik di semua daerah tersebut.
Pada titik ini clear, bahwa kebangkitan dinasti politik yang menjadi kajian para ahli yang saat ini ramai diperbincangkan memang bersitemali dengan praksis demokrasi elektoral. Dinasti politik tidak serta merta terbentuk sebagai sebuah taken for granted, lahir begitu saja seperti diturunkan dari langit. Dinasti politik lahir dan bangkit justru dari rahim demokrasi yang belum sepenuhnya dewasa dan matang.
Melalui mekanisme demokrasi elektoral orang-orang kuat di daerah (local strongman) karena kontrolnya terhadap sumber daya dan jejaring lokal (organisasi, tokoh masyarakat, pebisnis dll) menyiapkan keluarga dan/atau kerabatnya untuk disertakan dalam Pilkada langsung.
Setelah terpilih, mereka mengonsolidasikan kekuatannya dengan menempatkan anggota keluarga, kerabat atau para loyalis yang dianggap sudah seperti menjadi bagian dari keluarganya di berbagai posisi. Mulai dari lingkungan birokrasi pemerintahan, sektor-sektor usaha, asosiasi-asosiasi bisnis rekanan Pemda (Kadinda, Gapensi dll), bahkan dalam berbagai organisasi olahraga, sosial dan seni budaya.
Dengan cara demikian dinasti politik kemudian mengalami gejala proliferasi (pembiakan) ke berbagai arena kehidupan sosial-ekonomi, bukan hanya dalam ranah politik. Simultan dengan strategi proliferasi ini mereka juga menyiapkan anggota keluarganya yang lebih muda untuk menjadi pengganti dan/atau menguasai daerah (lintas kabupaten dan kota) dan pos-pos strategis lain (lintas bidang aktifitas) dalam ruang lingkup daerahnya.
Itulah model yang umum terjadi di berbagai daerah (setidaknya di Banten yang pernah saya teliti), bagaimana dinasti politik lahir dan bangkit, kemudian membiakkan diri dan mampu mempertahankan kontrol atas praktik demokrasi prosedural yang memungkinkan bangunan dinasti politiknya bisa bertahan dalam waktu relatif panjang.
 Dampak burukÂ
Berdasarkan temuan-temuan riset, praktik dinasti politik di aras lokal telah menimbulkan berbagai ancaman problematis dalam kehidupan politik. Dalam kerangka konsolidasi demokrasi misalnya, praktik dinasti politik menegasikan salah satu prinsip dasar demokrasi, yakni kesetaraan politik. Dinasti politik juga praktis hanya akan memperkokoh gejala oligarkis yang berpotensi melemahkan mekanisme check and balance karena jabatan-jabatan politik dikuasai oleh satu keluarga.
Dalam pandangan Amich Alhumami (Gatra, 30 Maret 2016), politik kekerabatan atau dinasti politik tidak sesuai dengan prinsip meritokrasi. Sebab, proses rekrutmen didasarkan pada sentimen kekeluargaan, bukan kompetensi. Menurutnya, jika terus berlanjut, gejala ini bisa kontraproduktif bagi ikhtiar membangun sistem demokrasi modern.
Dominasi kekuasaan oleh sekelompok elit lokal atau keluarga yang demikian itu pada akhirnya akan menimbulkan kerawanan terjadiya berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan politik (abuse of power).
Dalam konteks ekonomi lokal, praktik dinasti politik juga dapat melahirkan kapitalisme klientilistik sebagai bagian dari kronisme, di mana pelaku investasi ekonomi tidak serta merta bebas melakukan aktivitasnya karena senantiasa dimintai upeti oleh kerabat kepala daerah.