Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

"Saya Sedang Berkabung, di MK Baru Saja Terjadi Prahara"

27 Oktober 2023   10:50 Diperbarui: 27 Oktober 2023   11:19 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Kalimat di atas adalah statemen Prof. Arief Hidayat, salah satu dari empat hakim konstitusi yang memilih dissenting opinion pada saat pembacaan putusan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 mengenai usia Capres-Cawapres yang hingga hari ini masih terus menuai polemik di masyarakat.

Terkait polemik berkepanjangan ini, Prof. Yusril mengutarakan kekhawatirannya melalui akun twitter pribadinya :

"Menyimak polemik pro dan kontra terhadap putusan MK No 90/PUU-XXI/2023 beserta implikasinya terhadap Pilpres 2024, saya memandang perlu menyarankan kepada Pemerintah untuk segera mengambil langkah kongkret untuk mengakhiri polemik tersebut. Penyelenggaraan Pilpres memerlukan adanya keadilan dan kepastian hukum. Jangan polemik dibiarkan berlarut-larut yang dapat membawa implikasi pada legitimasi Pilpres dan hasilnya nanti".

Keprihatinan Prof. Arief sebagai buntut putusan MK terkait usia Capres-Cawapres dan kekhawatiran Prof. Yusril atas polemik terkait putusan MK itu saya kira penting untuk mendapat perhatian berbagai elemen bangsa. Terutama mereka yang masih memiliki komitmen dan kecintaan tulus pada bangsa dan negara ini. Serta masih peduli pada keselamatan negara-bangsa dari potensi kehancuran keadabannya oleh para petualang politik yang hanya memikirkan kepentingan pribadi, keluarga dan kelompoknya saja.

Melawan Badai dengan Majelis Kehormatan

"Prahara". Dalam kamus resmi Bahasa Indonesia, istilah ini mengandung arti "angin rebut, angin topan, badai". Menurut Prof. Arief, badai itu telah menghajar Mahkamah Konstitusi 16 Oktober lalu. Dan kini badai itu telah menggoyahkan salah satu benteng keadilan di negeri ini.

Besok atau lusa, jika tidak ada upaya serius untuk menjaganya, benteng keadilan bernama Mahkamah Konstitusi itu mungkin akan segera runtuh bersama hukum yang kondisinya juga makin susah ditegakkan belakangan ini.

Lantas ikhtiar apa yang harus dilakukan untuk menjaga agar Mahkamah tidak ambruk?

Tiga hari lalu sebuah lembaga telah dibentuk untuk memeriksa dan memutuskan laporan-laporan dugaan adanya pelanggaran kode etik oleh hakim konstitusi. Lembaga itu bernama Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Majelis ini diketuai oleh Prof. Jimly Ashiddiqie (mewakili unsur tokoh masyarakat), Prof. Bintan Saragih (unsur akademisi), dan Wahiduddin Adams (unsur hakim konstitusi).

Berdasarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2023 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, MKMK adalah perangkat yang dibentuk oleh MK untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, dan martabat sekaligus menjaga serta menegakkan Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.

Untuk mewujudkan fungsi dan tugas itu, MKMK diberikan 4 (empat) kewenangan sebagai berikut :

Pertama, menjaga keluhuran martabat dan kehormatan MK. Kedua, memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. Ketiga, memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja. Keempat, Dalam hal jangka waktu 30 (tiga puluh puluh) hari belum selesai pemeriksaannya, dapat diperpanjang paling lama 15 (lima belas) hari kerja berikutnya.

Di tengah kepercayaan publik yang tengah melorot terhadap kredibiltas MK, kehadiran MKMK itu mestinya memberikan secercah harapan akan tegaknya keadilan sekaligus tegaknya kembali marwah Mahkamah Konstitusi yang doyong akibat hantaman badai.

Pesimisme Publik

Tetapi dari respon publik yang kemudian mengemuka, keberadaan MKMK ini nampaknya belum cukup menghadirkan optimisme. Setidaknya ada dua alasan mengapa pesimisme publik justru merebak.

Pertama, MKMK dibentuk sendiri oleh 9 hakim konstitusi. Terlepas dari ketentuan bahwa memang mekanismenya seperti ini, yang pasti publik kemudian menilai mekanisme ini ibarat "jeruk makan jeruk". Bagaimana mungkin, dimana logikanya, MKMK yang akan memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran kode etik para hakim itu dibentuk oleh mereka sendiri.

Dalam kaitan inilah Feri Amsari (pakar hukum tatanegara Universitas Andalas Padang) misalnya menyarankan agar dugaan pelanggaran kode etik diperiksa oleh Komisi Yudisial (KY) yang tugas fungsinya juga menegakkan kehormatan para hakim, termasuk hakim konstitusi.

Kedua, pesimisme publik didasari oleh posisi politik Ketua MKMK, Prof. Jimly, yang merupakan pendukung Prabowo. Padahal MKMK harus memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi, yang salah satu perkaranya berkenaan dengan usia Capres-Cawapres yang putusannya kemarin itu menguntungkan Prabowo.

Dalam situasi demikian, masyarakat meragukan independensi dan integritas MKMK. Masyarakat pesimis MKMK berani memutuskan bahwa telah terjadi pelanggaran etik oleh hakim konstitusi, khususnya Anwar Usman sebagai Ketua MK.

Karena meskipun putusan MK bersifat final dan mengikat, ketika MKMK memutuskan telah terjadi pelanggaran kode etik oleh hakim konstitusi pada saat mengadili dan memutus perkara Nomor 90 itu, secara moral politik tentu akan berdampak serius dan panjang terhadap putusan yang telah diambil MK.

Proses lanjut pencalonan bakal Capres-Cawapres Prabowo-Gibran akan terganggu, dan dengan demikian tahapan Pemilu dengan sendirinya juga bakal terganggu. Beranikah MKMK mengambil putusan yang bakal berdampak sejauh itu? Inilah yang membuat publik pesimis.

Dan jika pesimisme itu kemudian terkonfirmasi, prahara yang diungkapkan Prof. Arief nampaknya akan panjang dan meluas daya jangkaunya. Ia tak hanya menerpa Mahkamah, tetapi juga bakal menerjang perhelatan demokrasi elektoral. 

Pemilu akan kehilangan legitimasi sebagai mekanisme untuk merotasi kepemimpinan karena sudah diawali dengan cara-cara kotor, cara-cara tak berkeadaban yang dibiarkan lewat tanpa sanksi apapun !

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun