Untuk mewujudkan fungsi dan tugas itu, MKMK diberikan 4 (empat) kewenangan sebagai berikut :
Pertama, menjaga keluhuran martabat dan kehormatan MK. Kedua, memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. Ketiga, memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja. Keempat, Dalam hal jangka waktu 30 (tiga puluh puluh) hari belum selesai pemeriksaannya, dapat diperpanjang paling lama 15 (lima belas) hari kerja berikutnya.
Di tengah kepercayaan publik yang tengah melorot terhadap kredibiltas MK, kehadiran MKMK itu mestinya memberikan secercah harapan akan tegaknya keadilan sekaligus tegaknya kembali marwah Mahkamah Konstitusi yang doyong akibat hantaman badai.
Pesimisme Publik
Tetapi dari respon publik yang kemudian mengemuka, keberadaan MKMK ini nampaknya belum cukup menghadirkan optimisme. Setidaknya ada dua alasan mengapa pesimisme publik justru merebak.
Pertama, MKMK dibentuk sendiri oleh 9 hakim konstitusi. Terlepas dari ketentuan bahwa memang mekanismenya seperti ini, yang pasti publik kemudian menilai mekanisme ini ibarat "jeruk makan jeruk". Bagaimana mungkin, dimana logikanya, MKMK yang akan memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran kode etik para hakim itu dibentuk oleh mereka sendiri.
Dalam kaitan inilah Feri Amsari (pakar hukum tatanegara Universitas Andalas Padang) misalnya menyarankan agar dugaan pelanggaran kode etik diperiksa oleh Komisi Yudisial (KY) yang tugas fungsinya juga menegakkan kehormatan para hakim, termasuk hakim konstitusi.
Kedua, pesimisme publik didasari oleh posisi politik Ketua MKMK, Prof. Jimly, yang merupakan pendukung Prabowo. Padahal MKMK harus memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi, yang salah satu perkaranya berkenaan dengan usia Capres-Cawapres yang putusannya kemarin itu menguntungkan Prabowo.
Dalam situasi demikian, masyarakat meragukan independensi dan integritas MKMK. Masyarakat pesimis MKMK berani memutuskan bahwa telah terjadi pelanggaran etik oleh hakim konstitusi, khususnya Anwar Usman sebagai Ketua MK.
Karena meskipun putusan MK bersifat final dan mengikat, ketika MKMK memutuskan telah terjadi pelanggaran kode etik oleh hakim konstitusi pada saat mengadili dan memutus perkara Nomor 90 itu, secara moral politik tentu akan berdampak serius dan panjang terhadap putusan yang telah diambil MK.
Proses lanjut pencalonan bakal Capres-Cawapres Prabowo-Gibran akan terganggu, dan dengan demikian tahapan Pemilu dengan sendirinya juga bakal terganggu. Beranikah MKMK mengambil putusan yang bakal berdampak sejauh itu? Inilah yang membuat publik pesimis.