Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama I Nominee Kompasiana Award 2024 - Best in Opinion

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Urgensi Politik Kebhinekaan di Tengah Kontestasi yang Makin Kompetitif

23 Oktober 2023   11:20 Diperbarui: 6 Februari 2024   20:29 736
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Mural bertemakan keberagaman menghiasi sebuah gang kampung di Mlatiharjo, Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (21/2/2019).  (Foto: KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA)

Sesanti Bhinneka Tunggal Ika yang ditulis oleh Mpu Tantular dalam kitabnya, Kakawin (Syair) Sutasoma pada tahun 1851 menggambarkan dengan jelas kondisi natur tersebut. 

Semboyan ini, meski semua dicetuskan dalam konteks membangun toleransi antar umat beragama (Hindu dan Budha) di era imperium Majapahit. 

Namun menjadi relevan dalam konteks kebangsaan yang secara faktual dan historis bangsa Indonesia memang majemuk, beraneka ragam dalam semua sisi primordialitasnya.

Setelah Indonesia merdeka, sesanti itu resmi menjadi semboyan nasional sekaligus menjadi salah satu identitas kebangsaan sebagaimana diatur di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 1951 tentang Lambang Negara.

Dalam Pasal 5 PP ini dinyatakan sbb: "Di bawah lambang (maksudnya burung Garuda) tertulis dengan huruf latin sebuah semboyan dalam bahasa Jawa-Kuno, yang berbunyi: Bhinneka Tunggal Ika".

Dengan demikian, teks Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan resmi, bagian dari salah satu konsensus politik kebangsaan. Bukan sekedar tagline simbolik atau aksesori untuk merias burung Garuda. 

Konsensus nasional ini lahir dari kesadaran dan kesepahaman kolektif para pendiri (the founding father) republik perihal realitas sosio-kultural bangsa Indonesia yang majemuk.

Di atas kemajemukan itulah bangsa ini hidup berkoeksistensi: berdampingan, saling menghargai, membangun kohesivitas dan harmoni, serta bekerjasama. 

Oleh karena itu, di atas kemajemukan yang mengandung semangat dan ciita-cita luhur untuk tetap bersatu itu pula hajat demokrasi Pemilu 2024 diselenggarakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun