Sesanti Bhinneka Tunggal Ika yang ditulis oleh Mpu Tantular dalam kitabnya, Kakawin (Syair) Sutasoma pada tahun 1851 menggambarkan dengan jelas kondisi natur tersebut.Â
Semboyan ini, meski semua dicetuskan dalam konteks membangun toleransi antar umat beragama (Hindu dan Budha) di era imperium Majapahit.Â
Namun menjadi relevan dalam konteks kebangsaan yang secara faktual dan historis bangsa Indonesia memang majemuk, beraneka ragam dalam semua sisi primordialitasnya.
Setelah Indonesia merdeka, sesanti itu resmi menjadi semboyan nasional sekaligus menjadi salah satu identitas kebangsaan sebagaimana diatur di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 1951 tentang Lambang Negara.
Dalam Pasal 5 PP ini dinyatakan sbb: "Di bawah lambang (maksudnya burung Garuda) tertulis dengan huruf latin sebuah semboyan dalam bahasa Jawa-Kuno, yang berbunyi: Bhinneka Tunggal Ika".
Dengan demikian, teks Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan resmi, bagian dari salah satu konsensus politik kebangsaan. Bukan sekedar tagline simbolik atau aksesori untuk merias burung Garuda.Â
Konsensus nasional ini lahir dari kesadaran dan kesepahaman kolektif para pendiri (the founding father) republik perihal realitas sosio-kultural bangsa Indonesia yang majemuk.
Di atas kemajemukan itulah bangsa ini hidup berkoeksistensi: berdampingan, saling menghargai, membangun kohesivitas dan harmoni, serta bekerjasama.Â
Oleh karena itu, di atas kemajemukan yang mengandung semangat dan ciita-cita luhur untuk tetap bersatu itu pula hajat demokrasi Pemilu 2024 diselenggarakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H