Dan sebagaimana yang tersimpan dalam jejak digital dan memori kolektif bangsa ini, pertengkaran yang dipicu oleh politisasi identitas dan stigmatisasi buruk pada Pemilu 2019 lalu telah mengakibatkan polarisasi tajam dalam masyarakat. Residunya bahkan masih terasa hingga sekarang, dan belum benar-benar hilang.
Dalam kerangka persaingan yang bakal semakin kompetitif, naluri primitif para petarung dan pengalaman pahit Pemilu 2019 silam itulah wacana politik kebinekaan penting menjadi perhatian semua elemen bangsa.Â
Perlu terus dihidupkan, di berbagai lapis dan segmen masyarakat, khususnya di kalangan aktor-aktor politik elektoral.
Secara sederhana istilah Politik Kebinekaan dapat dimaknai sebagai cara berpikir, bersikap dan berperilaku dalam kompleks aktifitas kepolitikan yang menjadikan realitas keragaman bangsa sebagai pijakan sekaligus orientasi.
Sebagai pijakan artinya para pihak yang berkompetisi dan para pendukungnya di berbagai lapis menyadari bahwa keragaman merupakan realitas sosio-kultural bangsa Indonesia.Â
Keragaman juga historical dalam sejarah perjalanan panjang bangsa Indonesia. Keragaman adalah salah satu fitrah besar, sunnatullah yang diberikan kepada bangsa ini. Dan karenanya wajib dijaga dan dipelihara.
Sebagai orientasi artinya para pihak yang berkompetisi dan para pendukungnya menyadari dan faham, bahwa pada akhirnya, di ujung depan sejarah nanti, capaian-capaian kebajikan yang dihasilkan oleh Pemilu sejatinya juga akan dipersembahkan kepada seluruh rakyat. Siapapun kelak yang terpilih mendapatkan mandat mayoritas.
Akar Sejarah dan Landasan Politik
Salah satu fitrah terbesar yang dimiliki bangsa Indonesia sejak kelahirannya sebagai sebuah entitas negara-bangsa 17 Agustus 1945 adalah kebinekaan, keragaman.Â
Fakta sosio-kultural ini bahkan sudah ada sejak era monarki-monarki Nusantara, jauh sebelum kolonialis Belanda datang dan menguasai negeri ini.