Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Urgensi Politik Kebhinekaan di Tengah Kontestasi yang Makin Kompetitif

23 Oktober 2023   11:20 Diperbarui: 6 Februari 2024   20:29 736
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Mural bertemakan keberagaman menghiasi sebuah gang kampung di Mlatiharjo, Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (21/2/2019).  (Foto: KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA)

Pasca peresmian pasangan Prabowo-Gibran sebagai bakal Capres-Cawapres, trend persaingan untuk merebut simpati dan suara pemilih nampaknya bakal semakin kompetitif.

Gibran, terlepas dari kontroversi yang menyertai perjalanan sejarahnya naik ke posisi bakal Cawapres. Dia akan menjadi episentrum baru bagi dua poros kompetitornya dalam memitigasi potensi-potensi tantangan yang dihadapi sekaligus dalam menyiapkan strategi kampanye untuk memaksimalkan peluang-peluang kemenangan dari celah kelemahan yang ada pada pasangan Prabowo-Gibran.

Berdasarkan Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu Tahun 2024, kampanye Pemilu akan dimulai pada tanggal 28 November 2023. 

Dan akan berakhir satu hari menjelang masa tenang, yakni tanggal 10 Februari 2024. Total waktu yang digunakan sebanyak 75 hari. Di fase kampanye inilah  nuansa persaingan akan tampak dan terasa mengeras.

Naluri Purba Para Petarung

Pemilu pada dasarnya merupakan medan konflik, arena pertarungan dimana para petarung atau kontestan (Partai Politik dan para Calegnya, Calon DPD dan Paslon Capres-Cawapres) berebut simpati, dukungan dan ujungnya adalah suara para pemilih.

Secara naluriah, para petarung atau kontestan akan berusaha keras dengan segala macam cara yang bisa mereka lakukan untuk memenangi konstestasi. Termasuk cara-cara yang potensial melanggar norma perundang-undangan dan kaidah-kaidah universal demokrasi elektoral.

Khusus berkenaan dengan kontestasi Pilpres, bangsa ini punya pengalaman buruk pada Pemilu 2019 lalu. Kala itu arena pertarungan diwarnai dengan fenomena politisasi identitas dan stigmatisasi buruk oleh masing-masing kubu terhadap kubu lainnya sebagai cara meraih dukungan konstituen dan memenangi Pemilu.

Politisasi identitas, terutama aspek agama, etnik dan ras menjadi pilihan masing-masing kubu petarung karena isu identitas paling mudah dikapitalisasi untuk meraih keuntungan-keuntungan elektoral. 

Paling mudah pula digunakan untuk menyulut sentimen emosional para pemilih, yang dengan cara demikian pihak-pihak yang berkepentingan mudah mengontrol dan mengarahkan mereka sesuka hati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun