Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Demi Marwah Mahkamah, Perlukah Ketua MK Dilaporkan ke Majelis Kehormatan?

18 Oktober 2023   19:15 Diperbarui: 18 Oktober 2023   19:45 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait usia Capres-Cawapres yang dinilai sarat kepentingan terus menuai kontroversi dan kekecewaan publik. Hari ini, sebagaimana dilansir di sejumlah media nasional, Ketua MK Anwar Usman bakal dilaporkan ke Majelis Kehormatana MK dengan dugaan pelanggaran kode etik sebagai Hakim MK.

Bahkan Koordinator Persatuan Advokat Nusantara, Petrus Selestinus, menilai Ketua MK diduga melakukan pelanggaran kode etik sekaligus pidana (Jawa Pos, 18 Oktober 2023). Menurut Petrus, setidaknya terdapat tiga dugaan pelanggaran yang dilakukan Anwar Usman dalam posisi sebagai Ketua dan Anggota Hakim MK. Yakni conflict of interest, nepotisme, dan manipulasi putusan.

Menyitir Pasal 17 Ayat 5 UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Petrus menjelaskan bahwa seorang hakim wajib mengundurkan diri bila berkepentingan langsung dan tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa. Dalam ayat selanjutnya, jika ada pelanggaran tersebut, putusan dianggap tidak sah dan hakim dikenai sanksi administratif atau dipidana sesuai perundang-undangan.

Manipulasi Putusan 

Selain itu, Petrus juga menilai ada manipulasi dalam putusan MK itu. Sebab, terdapat tiga kubu hakim. Empat hakim menolak, dua hakim memaknai berpengalaman sebagai gubernur serta menyatakan perubahan batas usia wewenang DPR, dan tiga hakim setuju.

Namun, Anwar Usman justru memasukkan dua hakim menjadi setuju. Sehingga, Ketua MK diduga melakukan pelanggaran masif dan terstruktur. Karena itu, pihaknya akan melaporkan Ketua MK ke Dewan Kehormatan MK dan Bareskrim untuk pidananya.

Terkait dugaan manipulasi putusan tersebut, Ahmad Basarah, Dosen FH Universitas Islam Malang yang juga Wakil Ketua MPR RI juga menilai terdapat persoalan mendasar dalam amar putusan MK yang membolehkan warga negara belum berusia 40 tahun dapat mencalonkan diri sebagai Capres-Cawapres asalkan pernah/sedang menduduki jabatan  kepala daerah yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk Pilkada (Detik.Com, 16 Oktober 2023).

Dimana letak persoalan mendasarnya? Basarah menyimpulkan bahwa sebenarnya putusan MK ini tidak mengabulkan petitum pemohon, melainkan menolak permohonan pemohon. Karena dari 9 hakim konstitusi, 4 hakim diantaranya memilih dissenting opinion (pendapat berbeda) dan 2 hakim menyatakan concurring opinion (alasan berbeda).

Keempat hakim dissenting opinion adalah Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat dan Suhartoyo, yang kesemuanya dengan tegas menolak permohonan pemohon. Sedangkan dua hakim lainnya yaitu Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P. Foekh  menyatakan concurring opinion. 

Dalam analisis Basarah, sejatinya kedua hakim konstitusi tersebut juga menyampaikan dissenting opinion, sebab kedua hakim konstitusi itu memiliki pendapat berbeda soal amar putusan.

Menurut hakim konstitusi Enny Nurbaningsih, amar putusan seharusnya, "Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau berpengalaman sebagai Gubernur yang persyaratannya ditentukan oleh pembentuk undang-undang." Sementara menurut hakim konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, amar putusannya seharusnya, "Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah tingkat provinsi." Jadi keduanya sependapat : bukan untuk kepala daerah tingkat kabupaten atau kota.

Simpulan Basarah sama persis dengan pandangan Yusril Ihza Mahendra, yang sesungguhnya merupakan bagian dari poros Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang selama ini dianggap paling berkepentingan dengan petitum putusan MK berkenaan dengan rencananya menyandingkan Gibran dengan Prabowo.

Seperti dikutip sejumlah media nasional, diktum putusan MK sangat problematik. Sebab, diktumnya menyatakan umur 40 tahun itu bertentangan dengan UUD 1945 kecuali dimaknai pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah. Jika ditelisik lebih dalam, hanya tiga hakim yang bersepakat dengan putusan itu. Mengapa ?

Karena concurring opinion yang disampaikan hakim Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic masuk dalam dissenting opinion. Sebab, yang disetujui dua hakim itu adalah minimal berpengalaman sebagai gubernur. "Jadi, sebenarnya ada enam hakim tidak setuju dengan putusan itu dan hanya tiga hakim yang setuju," papar Yusril seperti dikutip Jawa Pos, 18 Oktober 2023.

Sehari sebelumnya, Yusril bahkan menyatakan dengan nada cukup keras : "Kalau ditanya kepada saya ini problematik atau tidak, iya, penyelendupan hukum macam-macam. Boleh saya katakan putusan ini mengandung sebuah cacat hukum yang serius, putusan ini bahkan mengandung sebuah penyelundupan hukum karena putusannya mengatakan mengabulkan sebagian."  (Kompas.Com, 17 Oktober 2023).

Demi Marwah

Berdasarkan pendapat para ahli di atas barangkali memang tidak berlebihan jika ada kelompok masyarakat yang berniat melaporkan Ketua MK kepada Majelis Kehormatan MK. Ikhtiar ini penting untuk menjaga marwah dan wibawa MK di mata masyarakat sekaligus menjaga kepercayaan publik terhadap integritas lembaga-lembaga tinggi negara.

Langkah melaporkan Ketua MK itu juga penting dalam rangka, sebutlah "pembersihan" MK dari kotoran-kotoran kepentingan politik. Tujuannya selain untuk menjaga kondusifitas situasi politik-keamanan menjelang pendaftaran Capres-Cawapres, juga penting untuk merawat kepercayaan publik terhadap rangkaian proses Pemilu yang makin mendekati fase-fase krusial.

Perlu disadari semua pihak, bahwa kelak ketika hasil penghitungan suara dan penetapan hasil Pemilu serta Paslon Presiden-Wapres terpilih oleh KPU tidak diterima oleh salah satu atau lebih kontestan, muara pencarian keadilan juga ada di Mahkamah Konstitusi.

Asli, sulit membayangkan bagaimana jadinya jika MK sebagai benteng penjaga konstitusi (the guardian of constitution) sekaligus pengadil bagi para pencari keadilan elektoral melalui mekanisme gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) sejak kini sudah kehilangan kepercayaan publik. Bisa ambyar Pemilu kita !    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun